Kenapa Sholat dan Haji Harus berkiblat kearah Ka’bah ?

Assalamu’alaykum Wr. Wb.
Islam adalah ajaran yang rasional, penyembahan kepada Allah semesta alam yang Maha Ghaib pada dasarnya tidak mungkin ditujukan hanya kepada satu tempat tertentu saja apalagi Allah berada dimana-mana dan selalu mengawasi setiap gerak dan diri kita.

Dan kepunyaan Allah sajalah Timur dan Barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui. – Qs. al-Baqarah 2:144
Jika halnya secara praktek dilapangan umat Islam mengarahkan sholat mereka kearah Ka’bah dimasjid al-haram itu tidak serta merta diartikan sebagai suatu simbol penyembahan pada berhala yang berupa susunan batu hitam, namun semata-mata untuk menjadikan Ka’bah itu suatu kesatuan tujuan dalam beribadah kepada Tuhan Yang Maha Satu.
Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (ka’bah).
– Qs. al-Quraisy 106:3
Dengan demikian didalam Islam tidak terjadi perbedaan antara satu bangsa yang menganut Islam dengan bangsa lainnya yang juga menganut Islam mengenai tata cara peribadatan dan arah penghadapannya.

Kita bisa menarik kesamaan dalam kasus ini dengan Garuda Pancasila yang digunakan sebagai lambang negara kesatuan Republik Indonesia. Dimana Garuda Pancasila adalah simbol pemersatu bangsa yang memiliki aneka adat istiadat, budaya, suku dan agama sebagaimana bisa kita lihat slogan pada kaki Garuda Pancasila : Bhineka Tunggal Ika.; Tetapi apakah berarti Garuda Pancasila menjadi sesembahan bangsa Indonesia ? Tentu saja tidak, karena dia hanya sebatas simbol pemersatu semata.
Meski begitu, analogi Garuda Pancasila dan Ka’bah tadi tidak bisa disamakan dalam kasus penyembahan patung Yesus dan Bunda Maria seperti yang dijumpai dalam tradisi Kristen, karena mereka pada dasarnya memang menyembah dan meminta tolong kepada obyek yang dipatungkan itu dan mereka tidak menganggap patung-patung tersebut sebagai simbol pemersatu sebagaimana posisi Ka’bah bagi umat Islam. Dengan demikian kasus penyembahan terhadap patung seperti ini masuk dalam kategori menyembah berhala.
Adapun setiap umat sebelum kenabian Muhammad telah dinyatakan memiliki kiblat sholat masing-masing dan ini pun logis, kiblat Nabi Nuh bisa saja berbeda dengan kiblat Nabi Musa begitu seterusnya, hal ini tidak lain karena dakwah masing-masing Nabi dan Rasul sebelumnya hanya terbatas pada daerah kaumnya saja sehingga belum diperlukan adanya kesamaan arah kiblat bagi mereka semua.
Dan bagi tiap-tiap ummat ada kiblatnya dimana ia menghadap kepadanya. – Qs. al-Baqarah 2:148
Berbeda kasusnya manakala Nabi Muhammad diutus kepada semua bangsa, semua daerah dan kesetiap suku menembus adat tradisi dimasing-masing daerah. Perbedaan bisa menjadi suatu perselisihan yang besar apalagi bila perbedaan itu justru menyangkut tata cara penyembahan terhadap Tuhan. Hal ini sebenarnya pun sudah disebutkan oleh Nabi Yesaya seperti yang ada didalam alKitab :
Nyanyikanlah nyanyian baru bagi TUHAN dan pujilah Dia dari ujung bumi! Baiklah laut bergemuruh serta segala isinya dan pulau-pulau dengan segala penduduknya. Hendaklah padang gurun dan segala negrinya menyaringkan suaranya, demikian pula seluruh desa yang didiami orang-orang Kedar ! – Kitab Perjanjian Lama : Yesaya pasal 42 ayat 10 s.d 11
Disini disebutkan nama Kedar (al-Ghadir), yaitu nenek moyang dari Nabi Muhammad Saw yang terlahir dari Nabi Ismail sebagai putra kedua Nabi Ibrahim as. Bahwa Allah melalui Nabi Muhammad Saw akan menyatukan seluruh Tanah Arabia, menyatukan seluruh keturunan Kedar, mempersatukan seluruh generasi Ibrahim as, bersama dengan seluruh umat manusia dari seantero dunia dalam rangkaian ibadah Haji dirumah Allah, Ka’bah, Mekkah al-Mukarromah sebagaimana terdapat dalam nubuat kitab Yesaya pasal 60 ayat ke-7:
Segala domba Kedar dikumpulkan kepadamu, segala domba jantan Nebayot dihantar akan gunamu, sekalian itu naik keatas mezbah-Ku, dipersembahkan dengan keridhoan hati, maka rumah-Ku yang mulia itu (Ka’bah) akan Ku permuliakan pula.
Penafsiran Ka’bah sebagai rumah Allah yang terdapat dalam Yesaya 60:7 diatas kita sandarkan sendiri terhadap ayat Kitab Yesaya ke-11 dalam pasal yang sama :
“Maka segala pintu gerbangmu pun akan terbuka selalu, baik siang malam tiada ia itu ditutup, supaya dibawa masuk kepadamu akan tentara orang-orang kafir dan segala rajanya pun diantar.”
Ayat ke-11 ini kita tafsirkan sesuai kenyataan yang berlaku dihadapan kita, bahwa kota Mekkah al-Mukarromah dimana Ka’bah sebagai Rumah Allah senantiasa terbuka untuk orang-orang yang ingin melakukan ibadah kepada Allah, untuk orang-orang yang sadar dari segala kekafirannya, baik tua, muda, besar, kecil, rakyat hingga raja tanpa membedakan ras, suku, golongan maupun pangkat kedudukan duniawiah mereka. Seluruhnya bercampur menjadi satu umat dihadapan Allah, sebab Allah tidak akan menilai semuanya itu kecuali taqwa mereka kepada-Nya.
Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. – Qs. al-Hujuraat 49:13
Dan ketika Kami menjadikan rumah itu (yaitu Ka’bah) tempat berkumpul bagi manusia … – Qs. al-Baqarah 2:125
Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat bagi manusia… – Qs. al-Ma’idah 5:97
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan berkendaraan yang datang dari segenap penjuru yang jauh. – Qs. al-Hajj 22:27
Kemudian pada awal kitab Yesaya pasal 42:10 disebutkan “Nyanyikanlah nyanyian baru bagi TUHAN…” Suatu lagu baru adalah merupakan senandung doa pujian kepada Allah dalam bentuknya yang lain. Dalam hal ini “bentuk yang lain” yang dimaksudkan merefer pada kitab Yesaya pasal 28: 11 serta kitab Zefania pasal 3:9 yang terdapat dalam alkitab :
Maka sebab itu Dia pun akan berfirman kepada bangsa ini dengan logat yang asing dan dengan bahasa yang lain. – Kitab Perjanjian Lama : Yesaya 28:11
Tetapi pada masa itu Aku akan mengaruniakan kepada semua bangsa lidah yang suci; supaya mereka itu sekalian menyebut nama Tuhan. Melayani-Nya dalam satu persamaan. – Kitab Perjanjian Lama : Zefania 3:9
Dengan demikian, “Nyanyian baru bagi Tuhan” yang dimaksud oleh Yesaya 42:10 ini adalah doa dan pujian yang berasal dengan logat dan bahasa yang lain daripada sebelumnya yaitu diluar dari bahasa Arami maupun Ibrani yaitu bahasa Arab.
Pada saat umat Islam diseluruh dunia berseru kepada Tuhan, pada saat sholat, berhaji dan pada saat mereka saling mengucapkan salam sebagai satu bahasa kesatuan dan persatuan hidup dan kehidupan beragama sebagaimana isi ayat terakhir dari Zefania 3:9 “… melayani-Nya dalam satu persamaan.”
Hendaklah semua orang yang duduk dibukit batu itu bernyanyi, biarkanlah mereka berseru-seru dari puncak bukit. Biarkanlah mereka memberikan pujian kepada TUHAN, dan memberitakan pujian yang kepada-Nya di pulau-pulau. TUHAN keluar berperang seperti pahlawan, seperti orang perang Ia membangkitkan semangat-Nya untuk bertempur; Ia bertempik sorak, ya, Ia memekik, terhadap musuh-musuh-Nya Ia membuktikan kepahlawanan-Nya.” – Kitab Perjanjian Lama : Yesaya pasal 42 ayat 12 s.d. 13
Dari bukit Arafah dekat kota Mekkah, para Jemaah Haji dari seluruh pulau didunia ini setiap tahunnya datang berkumpul bersama dan berseru:
Labbaykallahumma Labbayk
Labbayka laa syariikalaka labbayk
Innal hamda wan ni’mata laka walmulk
La syariikalaka
Yang artinya : Aku sambut panggilanmu, Ya Allah;
Aku sambut panggilan-Mu;
Aku sambut panggilan-Mu, Tiada sekutu bagi-Mu;
Aku sambut panggilan-Mu;
Sesungguhnya segala puji dan kenikmatan serta segenap kekuatan adalah milik-Mu, Tiada sekutu bagi-Mu.
Allah telah menunjukkan kekuasaan-Nya, mengalahkan semua dakwah keberhalaan manusia, memenangkan risalah para Nabi-Nya dari seluruh kejahatan, membuktikan kebesaran-Nya dihadapan para mus
uh-Nya.
Karena sesungguhnya kegelapan menudungi bumi dan dalam kelam kabut menudungi segala bangsa, sementara Tuhan telah terbit atas kamu dan kemuliaan-Nya pun bersinar kepadamu. Maka segala orang kafir pun akan datang kepada terangmu dan segala raja-raja pun kepada cahaya yang sudah terbit bagi kamu – Kitab Perjanjian Lama : Yesaya pasal 60:2-3
Ini juga kiranya bisa menjadi sandaran didalam dunia Fiqih modern kenapa sholat itu harus dalam bahasa Arab, Islam itu agama yang mementingkan persatuan, mulai dari paham kesatuan Tuhannya (monotheisme/Tauhid) dan bersatu juga dalam perbedaan.
Tatkala orang Bugis berada di Padang misalnya, dia akan mudah membaurkan dirinya dalam jemaah sholat dimasjid manapun tanpa harus khawatir tata cara sholatnya berbeda dengan mereka, tanpa perlu pula khawatir bahasa yang dipergunakan didalam sholat berbeda. Demikianlah salah satu hikmah yang bisa kita kemukakan perihal keharusan sholat dan haji itu menghadap kearah Ka’bah dan kenapa juga sholat harus dalam bahasa Arab.
Wassalam,

CARA SHOLAT

CARA SHOLAT
Assalamu’alaykum Wr. Wb.
Sebagaimana yang pernah kita bahas sebelumnya, bahwa perintah sholat merupakan tradisi yang diwariskan semua Nabi dan Rasul sebagai salah satu bentuk ibadah kepada Allah. Ibadah Sholat ini disebutkan juga dalam al-Qur’an dilakukan dengan cara ruku dan sujud. Meski demikian, al-Qur’an tidak memberikan detil lebih jauh mengenai teknis pengerjaan sholat dalam mewujudkan ruku dan sujud tersebut.
Tradisi sholat yang ada dan berlaku didunia Islam dewasa ini pada dasarnya dipercaya merupakan sebuah tradisi yang pernah ada dijaman Nabi yang diajarkan dari generasi kegenerasi. Sejauh mana keakuratan tradisi ini bisa mengacu juga pada catatan-catatan yang ada dari para perawi hadis, baik mereka dari kalangan ahlussunnah maupun syiah sebagai dua aliran keagamaan terbesar didunia Islam.
Kaum ahlussunnah sangat terkenal dengan kepercayaan mereka terhadap kitab-kitab hadis catatan dari Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi, Imam Ahmad, Imam an-Nasa’i dan Imam Ibnu Majah serta beberapa nama perawi hadis lainnya. Begitupula halnya dengan kaum Syiah yang terkenal karena kefanatikannya terhadap Imam-imam dari kalangan ahli bait Nabi secara turun menurun yang diambil dari garis keturunan puteri beliau Fatimah dan Ali bin Abu Thalib.
Meskipun ada beberapa perbedaan kecil dalam prakteknya, namun secara umum tata cara sholat yang bisa kita temui dari kedua aliran ini tidak jauh berbeda antara satu sama lainnya. Karenanya, sisi perbedaan yang ditemui masih bisa ditoleransikan. Hal inilah yang mengindikasikan kepada kita bahwa tradisi sholat yang berlaku pada jaman kita sekarang pasti tidak akan lari terlalu jauh dari yang pernah berlaku dijaman Nabi. Buku ini akan mencoba menjelaskan secara singkat dan umum mengenai tata cara sholat tersebut, baik berdasarkan al-Qur’an maupun as-Sunnah dari berbagai literaturnya..
Sebelum memulai sholat, sudah menjadi kesepakatan semua umat Islam dari berbagai alirannya untuk melakukan thaharah atau bersuci, yaitu dengan cara berwudhu. Praktek ini diperkuat dengan adanya perintah tertulis mengenainya didalam al-Qur’an.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki – Qs. 5 al-Maaidah: 6
Dalam tradisi yang ada, teknis perintah berwudhu yang terdapat pada ayat diatas mengalami perkembangan, yaitu dengan adanya penambahan mencuci kedua tangan sebelum membasuh muka, lalu berkumur, menghisap air hidung, membasuh telinga hingga mencuci janggut. Meskipun demikian tidak bisa pula diartikan bahwa penambahan ini menyalahi ketentuan Allah didalam al-Qur’an. Kita bisa membaca dalam kitab-kitab hadis terkemuka bahwa penambahan yang terjadi ini dilakukan oleh Nabi sebagai sunnah beliau untuk lebih membersihkan diri, apalagi bila kita ingat dimasa itu tanah Arabia sebagian besar terdiri dari bukit-bukit dan padang pasirnya sehingga debu dan kotoran cenderung lebih banyak melekat.
Dari Usman bin Affan, bahwa ia pernah meminta bejana, lalu ia menuangkannya keatas kedua telapak tanganya kemudian membasuhnya, lalu memasukkan yang sebelah kanan didalam bejana, kemudian berkumur dan mengisap air hidung, kemudian membasuh mukanya tiga kali dan kedua tangan sampai siku-siku tiga kali, kemudian mengusap kepalanya, lalu membasuh kedua kakinya tiga kali sampai kedua mata kakinya. Kemudian berkata : ‘Aku melihat Rasulullah Saw berwudhu seperti wudhuku ini. – Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim
Dari Ali r.a, bahwa ia meminta air wudhu, kemudia ia berkumur dan mengisap air hidung dan menyemburkan air hidung dengan tangan kirinya, maka ia berbuat ini tiga kali kemudian berkata : ‘Inilah bersucinya Nabi Saw.’ – Riwayat Ahmad dan Nasa’i
Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Saw mengusap kepalanya dan dua telinganya, luar dan dalamnya. – Riwayat Tirmidzi
Dari anas, bahwa Nabi Saw apabila berwudhu maka mengambil seciduk air kemudian memasukkannya dibawah cetaknya lalu ia menyela-nyela jenggotnya dan bersabda : ‘Demikianlah Tuhanku memerintahkanku.’ – Riwayat Abu Daud
Karena sifatnya hanya sunnah, maka berpulang kepada diri kita saja berdasarkan situasi dan kondisi, apakah ingin berwudhu secara sederhana dan mudah yaitu dengan mengikuti ketentuan al-Qur’an atau dengan mencontoh sunnah Nabi-Nya. Tidak ada yang perlu dipertentangkan secara khusus mengenai berwudhu ini, sama misalnya disebutkan didalam Hadis, bahwa seandainya saja bersiwak atau menggosok gigi tidak akan memberatkan umatnya pasti akan disunnahkan oleh Nabi pula untuk melakukannya sebelum kita melakukan sholat.
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw : Beliau bersabda : seandainya aku tidak khawatir akan memberatkan orang-orang beriman (dalam hadis riwayat Zuhair, disebut umatku), niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali akan sholat. – Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad, Malik dan Al-Darami
Berwudhu bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan air dan menggunakan tanah atau debu yang sudah dibersihkan. Adapun cara kedua tersebut dilakukan hanya apabila tidak dijumpainya air yang bersih atau karena sakit yang mengakibatkannya tidak dapat bersentuhan dengan air.

Dan jika kamu sakit atau habis buang air atau kamu selesai bersetubuh sedang kamu tidak mendapat air maka hendaklah kamu cari debu yang bersih, lalu hendaklah kamu sapu muka kamu dan tangan kamu karena sungguh Allah itu sangat memudahkan dan Maha mengampuni. – Qs. 4 an-Nisaa’ 43
Usai melakukan wudhu, berdirilah tegak menghadap kiblat (arah masjid al-Haram) lalu mulailah bertakbir , yaitu mengucapkan Allahu Akbar (Allah Maha Besar).
Istilah Allahu Akbar tidak dijumpai dalam al-Qur’an, sebaliknya al-Qur’an memperkenalkan sifat al-Kabir sebagai salah satu asma Allah
Akan tetapi harus diingat bahwa dalam ayat-ayat tersebut Tuhan memerintahkan kita untuk mengagungkan-nya, membesarkan-Nya. Sementara kata al-Kabir sendiri berfungsi sebagai kata benda (verb) didalam bahasa Arab yang jika diucapkan menjadi Akbar, Istilah Takbirah adalah bentuk noun dari ungkapan Allahu Akbar sebagaimana yang bisa dijumpai dalam tradisi Arabia.

Surah 17:111 menyebutkan istilah yang artinya agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebenar-benarnya (Kabbir takbira) dan ini adalah bersamaan maknanya dengan Allahu Akbar. Kita tidak bisa menolak istilah Allahu Akbar seperti yang dijumpai dalam tradisi sholat dan diriwayatkan oleh sejumlah hadis hanya karena istilah ini tidak dijumpai didalam al-Qur’an, apalagi menggantinya dengan istilah Allahu Kabir seperti yang dilakukan oleh sejumlah orang inkar sunnah.
Didalam tradisi, tidak ada satupun terdengar bahwa Nabi ataupun seorang Muslim diluarnya mengucapkan Allahu Kabir, seandainya ucapan Allahu Akbar salah dan bertentangan dengan al-Qur’an, tentunya akan ditegaskan oleh Nabi sendiri, kata al-Kabir sendiri didalam al-Qur’an berarti Allah yang Besar (ini bertindak sebagai superlatif), sementara kata al-Akbar sebagaimana didalam Hadist berarti Allah Maha Besar.
Kenapa kita harus sholat ?
Sampai saat ini masih ada sebagian dari umat Islam menganggap sholat hanya semata-mata sebagai suatu ritualitas dalam agama yang amalnya akan bermanfaat kelak dihari kiamat selaku penolong dalam menghadapi siksaan Allah. Padahal pendapat yang demikian ini tidak sepenuhnya dapat dibenarkan, sebab manusia ini memiliki dua kehidupan yang seimbang; yaitu kehidupan masa sekarang atau alam duniawi dan kehidupan masa yang akan datang atau alam akhirat.
Tuhan tidak akan memberikan sesuatu yang sifatnya tidak seimbang, karena itu juga perintah Sholat tidak hanya berfungsi dimasa depan semata namun sebaliknya memiliki kegunaan yang vital bagi manusia dalam menjalani hari-hari kehidupannya dimasa kehidupan yang sekarang.
Sesungguhnya, sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar
Qs. 29 al-ankabut : 45
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, didalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling tarik-menarik sehingga menjadikan jiwa condong kesalah satu diantaranya. Unsur tersebut adalah nilai-nilai positip (unsur malaikat) dan nilai-nilai negatif (unsur setan).
Jika kamu berbuat baik, maka kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka itu juga untuk dirimu sendiri – Qs. 17 al-israa’ : 7
Ritualitas sholat dinyatakan didalam al-Qur’an pada ayat tersebut sebagai suatu sarana atau wadah untuk mengontrol perbuatan negatif yang seringkali mendominasi diri manusia. Dengan terjalinnya komunikasi yang baik dengan Tuhan secara vertikal maka diharapkan secara horisontalpun manusia mampu berbuat baik kepada sesamanya bahkan lebih jauh kepada semua hamba Tuhan diluar dirinya.
Namun fakta dilapangan juga membuktikan bahwa banyak orang Islam yang rajin melakukan sholat namun kelakuan dan sifatnya justru tidak sesuai dengan kehendak Tuhan yang ada pada surah al-Ankabut ayat 45 tadi, betapa banyak orang yang kelihatannya rajin sholat namun tetap bergunjing, melakukan zinah, pelecehan seksual, bahkan bila dia seorang penguasa yang memiliki jabatan akan memanfaatkannya untuk menganiaya orang lain, melakukan penindasan, korupsi bahkan sampai pada pembunuhan dan peperangan. Inilah contoh manusia yang telah lalai dalam sholat mereka.
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat
Yaitu orang-orang yang melalaikan sholatnya
Qs. 107 al-maa’uun : 4-5
Bila sudah seperti ini, maka kita patut memperhatikan firman Allah yang lain :
Luruskan mukamu di setiap sholat
dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan keta’atanmu kepada-Nya – Qs. 7 al-a’raaf 29
Dari ayat tersebut, Allah hendak menyampaikan kepada manusia bahwa sholat itu memerlukan sikap lahir dan batin yang saling berkolerasi atau berhubungan. Meluruskan muka adalah memantapkan seluruh gerakan anggota tubuh dan menyesuaikannya dengan konsentrasi jiwa menghadap sang Maha Pencipta alam semesta. Disaat mulut membaca al-Fatihah, hati harus mengikutinya dengan sebisa mungkin memahami secara luas arti al-Fatihah sementara pikiran berkonsentrasi dengan gerak mulut dan hati, inilah keseimbangan yang di-istilahkan dengan khusuk dalam ayat berikut :
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, Yaitu orang-orang yang khusuk dalam sholatnya – Qs. 23 al-mu’minuun : 1-2
Jadi, khusuk adalah suatu perbuatan yang menyeimbangkan gerak lahir dan batin, sehingga terciptalah suatu konsistensi ketika ia diterapkan dalam kehidupan nyata, sesuai dengan komitmen yang dilafaskan dalam do’a iftitah :
Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam – Qs. 6 Al-An’am:162
Akhirnya sholat merupakan ritualitas multi dimensi yang semuanya mengarah kepada sipelakunya sendiri agar mendapat kebaikan, baik dalam hal mengontrol diri ketika masih hidup didunia maupun menjadi amal yang membantu saat penghisaban dihari kiamat kelak.
Lalu siapakah yang lebih baik agamanya selain orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah sedang diapun mengerjakan kebaikan ? – Qs. 4 an-Nisaa’: 125
Kenapa sholat harus didahului oleh azan ?
Azan adalah seruan sebagai pertanda sudah masuknya waktu sholat, sekaligus sebagai seruan pemanggil umat agar orang-orang berkumpul dan bisa melakukan ibadah sholat secara berkelompok atau berjemaah. Secara kontekstual, tidak ada satu ayatpun didalam al-Qur’an yang menjelaskan perihal azan ini apalagi mengatur tata cara dan bacaannya, tetapi seruan ini secara umum bisa dijumpai secara tersirat dari beberapa ayat al-Qur’an.
Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari’at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan ini dan serulah kepada Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus. – Qs. 22 al-Hajj 67
Dan katakanlah: Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempuyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong dari kehinaan dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebenar-benarnya. – Qs. 17 al-Israa’ 111
Lebih detail lagi, masalah azan ini bisa dijumpai dalam beberapa hadis sebagai berikut :
Dari Malik bin al-Huwairits, sesungguhnya Nabi Saw telah bersabda: Apabila waktu sholat telah tiba maka hendaklah salah seorang diantara kamu adzan untuk sholatmu itu; dan hendaklah yang tertua diantara kamu itu yang bertindak sebagai imam bagi kamu. – Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim
Riwayat Abdullah bin Umar, ia berkata :
Dahulu, orang-orang Islam ketika tiba di Madinah, mereka berkumpul lalu memperkirakan waktu Sholat. Tidak ada seorangpun yang menyeru untuk Sholat. Pada suatu hari mereka membicarakan hal itu. Sebagian mereka berkata : Gunakanlah lonceng seperti lonceng orang Kristen.; Sebagian yang lain berkata : Gunakanlah terompet seperti terompet orang Yahudi.; Kemudian Umar berkata : Mengapa kalian tidak menyuruh seseorang agar berseru untuk sholat? Rasulullah Saw bersabda : Hai Bilal, bangunlah dan serulah untuk sholat – Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i dan Ahmad
Rasulullah Saw mempunyai dua muadzin, Bilal dan Ibnu Ummu Maktum yang buta – Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Ahmad, Malik dan al-Darami
Dengan demikian masalah azan seperti ada tidaknya dalil tertulis didalam al-Qur’an atau apakah ada beberapa perbedaan lafash antara satu jemaah dengan jemaah yang lainnya tidak harus menjadi suatu permasalahan yang memecah kesatuan umat dan menghilangkan makna persaudaraan Islam. Sesuatu hal yang sangat wajar dan alamiah sekali alasannya kenapa “harus ada” adzan untuk sholat. Saat kita masih sekolah (terutama SD) kita sering melakukan gerak baris-berbaris, melakukan upacara bendera setiap hari senin pagi, dan untuk mengumpulkan siswa ditanah lapang biasanya bapak atau ibu guru menekan bel ataupun memukul lonceng sebagai tanda dan isyarat bahwa waktunya sudah tiba.
Dahulu ketika saya masih aktif mengajar dikelas web programming, semua murid belum mau berkemas untuk pulang sebelum terdengar bel, padahal waktu sudah lewat dari jadwal seharusnya, ketika saya tanya ” … pada nggak mau pulang nih … ?” ; mereka jawab : “khan belum bel, pak !” ; ya, mereka menunggu isyarat yang memastikan bahwa waktu untuk pulang memang sudah tiba. Lalu kenapa juga masalah ad
a tidaknya adzan didalam al-Quran harus dipermasalahkan ? Sering saya katakan berulang kali … jangan terlalu berlebihan dalam suatu perbuatan, mari kita bumikan ajaran langit sesuai fitrah kemanusiawian yang ada. Pahamilah agama dengan penuh kewajaran dan kelogisan, selama sesuatu itu bisa dimanfaatkan untuk mendatangkan kebaikan maka kenapa tidak menggunakannya, apalagi Rasul sudah jelas mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari beliau yang bisa dilihat dari sunnah yang ada.
Bagaimana cara sholat didalam Islam ?
Sebagaimana yang pernah kita bahas sebelumnya (lihat artikel saya mengenai kontroversi kisah penjemputan sholat pada peristiwa Mi’raj Nabi), bahwa perintah sholat merupakan tradisi yang diwariskan semua Nabi dan Rasul sebagai salah satu bentuk ibadah kepada Allah. Ibadah Sholat ini disebutkan juga dalam al-Qur’an dilakukan dengan cara ruku dan sujud. Meski demikian, al-Qur’an tidak memberikan detil lebih jauh mengenai teknis pengerjaan sholat dalam mewujudkan ruku dan sujud tersebut.
Tradisi sholat yang ada dan berlaku didunia Islam dewasa ini pada dasarnya dipercaya merupakan sebuah tradisi yang pernah ada dijaman Nabi yang diajarkan dari generasi kegenerasi. Sejauh mana keakuratan tradisi ini bisa mengacu juga pada catatan-catatan yang ada dari para perawi hadis, baik mereka dari kalangan ahlussunnah maupun syiah sebagai dua aliran keagamaan terbesar didunia Islam.
Kaum ahlussunnah sangat terkenal dengan kepercayaan mereka terhadap kitab-kitab hadis catatan dari Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi, Imam Ahmad, Imam an-Nasa’i dan Imam Ibnu Majah serta beberapa nama perawi hadis lainnya. Begitupula halnya dengan kaum Syiah yang terkenal karena kefanatikannya terhadap Imam-imam dari kalangan ahli bait Nabi secara turun menurun yang diambil dari garis keturunan puteri beliau Fatimah dan Ali bin Abu Thalib r.a.
Meskipun ada beberapa perbedaan kecil dalam prakteknya, namun secara umum tata cara sholat yang bisa kita temui dari kedua aliran ini tidak jauh berbeda antara satu sama lainnya. Karenanya, sisi perbedaan yang ditemui masih bisa ditoleransikan. Hal inilah yang mengindikasikan kepada kita bahwa tradisi sholat yang berlaku pada jaman kita sekarang pasti tidak akan lari terlalu jauh dari yang pernah berlaku dijaman Nabi. Tulisan ini akan mencoba menjelaskan secara singkat dan umum mengenai tata cara sholat tersebut, baik berdasarkan al-Qur’an maupun as-Sunnah dari berbagai literaturnya..
Sebagai pengantar awal, harus kita ingat lagi bahwa Sholat adalah sarana untuk memuja Tuhan sebagai salah satu sikap bersyukur dan sekaligus waktu untuk melakukan dialog, mengadukan semua keluh kesah yang dialami dan mencari jalan keluar dari aneka ragam permasalahan yang ada. Lebih jauh lagi ditinjau dari sisi metafisika, Sholat tidak ubahnya sebuah ritual meditasi, pemusatan konsentrasi untuk menyelaraskan energi yang ada didalam tubuh (energi statis) terhadap energi diluarnya yang maha besar (yang bersifat dinamis).
Dengan demikian, saat sholat terjadi kita sebenarnya sedang memancarkan sinyal-sinyal frekwensi terhadap alam semesta, terhadap lingkungan kita dan menjangkau sinar-sinar kosmik ilahiah yang sifatnya tak hingga. Karena itulah orang yang selalu melakukan sholat secara baik, dia bisa terhindar dari energi negatif yang mencelakakannya atau menggiringnya kedalam kehinaan.
Sesungguhnya, sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar – Qs. 29 al-ankabut : 45
Sebelum memulai sholat, sudah menjadi kesepakatan semua umat Islam dari berbagai alirannya untuk melakukan thaharah atau bersuci, yaitu dengan cara berwudhu. Praktek ini diperkuat dengan adanya perintah tertulis mengenainya didalam al-Qur’an.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki – Qs. 5 al-Maaidah: 6
Dalam tradisi yang ada, teknis perintah berwudhu yang terdapat pada ayat diatas mengalami perkembangan, yaitu dengan adanya penambahan mencuci kedua tangan sebelum membasuh muka, lalu berkumur, menghisap air hidung, membasuh telinga hingga mencuci janggut. Meskipun demikian tidak bisa pula diartikan bahwa penambahan ini menyalahi ketentuan Allah didalam al-Qur’an. Kita bisa membaca dalam kitab-kitab hadis terkemuka bahwa penambahan yang terjadi ini dilakukan oleh Nabi Muhammad sendiri sebagai sunnah beliau untuk lebih membersihkan diri, apalagi bila kita ingat dimasa itu tanah Arabia sebagian besar terdiri dari bukit-bukit dan padang pasirnya sehingga debu dan kotoran cenderung lebih banyak melekat. Apalagi ada kemungkinan besar orang-orang Arab itu gemar memelihara jenggot sampai panjang kebawah, sementara al-Qur’an tidak memberikan informasi mengenai boleh tidaknya membasahi janggut sewaktu berwudhu, sederhana dan sepele kelihatannya, tetapi kita harus ingat, untuk urusan sepelepun terkadang kita sering salah, apalagi jika kita lihat konteks ayat tersebut turun dimana para pemeluk Islam generasi pertama masih dalam proses belajar agama yang baru mereka anut, adalah wajar dan rasional sekali bila hal seperti ini memerlukan jawaban atau contoh dari sipembawa ajaran itu sendiri.
Dari Usman bin Affan, bahwa ia pernah meminta bejana, lalu ia menuangkannya keatas kedua telapak tangannya kemudian membasuhnya, lalu memasukkan yang sebelah kanan didalam bejana, kemudian berkumur dan mengisap air hidung, kemudian membasuh mukanya tiga kali dan kedua tangan sampai siku-siku tiga kali, kemudian mengusap kepalanya, lalu membasuh kedua kakinya tiga kali sampai kedua mata kakinya. Kemudian berkata : ‘Aku melihat Rasulullah Saw berwudhu seperti wudhuku ini. – Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim
Dari Ali r.a, bahwa ia meminta air wudhu, kemudia ia berkumur dan mengisap air hidung dan menyemburkan air hidung dengan tangan kirinya, maka ia berbuat ini tiga kali kemudian berkata : ‘Inilah bersucinya Nabi Saw.’ – Riwayat Ahmad dan Nasa’i
Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Saw mengusap kepalanya dan dua telinganya, luar dan dalamnya. – Riwayat Tirmidzi

Dari anas, bahwa Nabi Saw apabila berwudhu maka mengambil seciduk air kemudian memasukkannya dibawah cetaknya lalu ia menyela-nyela jenggotnya dan bersabda : ‘Demikianlah Tuhanku memerintahkanku.’ – Riwayat Abu Daud
Karena sifatnya hanya sunnah, maka berpulang kepada diri kita saja berdasarkan situasi dan kondisi, apakah ingin berwudhu secara sederhana dan mudah yaitu dengan mengikuti ketentuan al-Qur’an atau dengan mencontoh sunnah Nabi-Nya. Tidak ada yang perlu dipertentangkan secara khusus mengenai berwudhu ini, sama misalnya disebutkan didalam Hadis, bahwa seandainya saja bersiwak atau menggosok gigi tidak akan memberatkan umatnya pasti akan disunnahkan oleh Nabi pula untuk melakukannya sebelum kita melakukan sholat.
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw : Beliau bersabda : seandainya aku tidak khawatir akan memberatkan orang-orang beriman (dalam hadis riwayat Zuhair, disebut umatku), niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali akan sholat. – Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad, Malik dan Al-Darami
Berwudhu bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan air dan menggunakan tanah atau debu yang sudah dibersihkan. Adapun cara kedua tersebut dilakukan hanya apabila tidak dijumpainya air yang bersih atau karena sakit yang mengakibatkannya tidak dapat bersentuhan dengan air.
Dan jika kamu sakit atau habis buang air atau kamu selesai bersetubuh sedang kamu tidak mendapat air maka hendaklah kamu cari debu yang bersih, lalu hendaklah kamu sapu muka kamu dan tangan kamu karena sungguh Allah itu sangat memudahkan dan Maha mengampuni. – Qs. 4 an-Nisaa’ 43
Usai melakukan wudhu, berdirilah tegak menghadap kiblat (arah masjid al-Haram) lalu mulailah bertakbir , yaitu mengucapkan Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Istilah Allahu Akbar ini memang tidak dijumpai dalam al-Qur’an, sebaliknya al-Qur’an memperkenalkan sifat al-Kabir sebagai salah satu asma Allah
Akan tetapi harus diingat bahwa dalam ayat-ayat tersebut Tuhan memerintahkan kita untuk mengagungkan-nya, membesarkan-Nya. Sementara kata al-Kabir sendiri berfungsi sebagai kata kerja (verb) didalam bahasa Arab yang jika diucapkan (dilakukan) bisa menjadi Akbar, Istilah Takbirah adalah bentuk noun dari ungkapan Allahu Akbar sebagaimana yang bisa dijumpai dalam tradisi Arabia.
Surah 17:111 menyebutkan istilah yang artinya agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebenar-benarnya (Kabbir takbiran) dan ini adalah bersamaan maknanya dengan Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Kita tidak bisa menolak istilah Allahu Akbar seperti yang dijumpai dalam tradisi sholat dan diriwayatkan oleh sejumlah hadis hanya karena istilah ini tidak dijumpai didalam al-Qur’an, apalagi menggantinya dengan istilah Allahu Kabir seperti yang dilakukan oleh sejumlah orang ingkar sunnah. Terbukti didalam tradisi yang sampai kepada kita dari generasi kegenerasi, tidak ada satupun terdengar berita dalam berbagai saluran periwayatan bahwa Nabi ataupun seorang Muslim diluarnya mengucapkan Allahu Kabir didalam sholat.
Bersamaan waktunya dengan takbir, kita mengangkat kedua tangan sejajar dengan telinga, adapun salah satu hikmahnya sebagai isyarat perpisahan sementara, meninggalkan urusan duniawi dan mengembalikan semua urusan kepada Allah, Tuhan yang Maha Berkehendak.
Dari Ali bin Abu Thalib, dari Rasulullah Saw : ‘Sesungguhnya beliau apabila berdiri untuk sholat wajib, beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya berbetulan dengan kedua pundaknya.’ – Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi
Dalam satu riwayat, sesungguhnya Rasulullah Saw apabila takbir, ia mengangkat kedua tangannya sehingga berbetulan dengan kedua telinganya. – Riwayat Ahmad dan Muslim
Menurut riwayat Abu Daud dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya dan Wail bin Hujr, bahwa Nabi merapatkan antara jari-jari kedua tangannya itu dan Wail berkata : ‘Sehingga berbetulan punggung kedua telapak tangannya itu dengan pundak dan ujung-ujung jarinya dengan telinga’
Dari Ibnu Umar, ia berkata : Adalah Rasulullah Saw bila berdiri untuk sholat, mengangkat kedua tangannya sehingga berbetulan dengan kedua pundaknya itu lalu bertakbir. – Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim
Dengan demkian maka posisi tangan saat takbir adalah berada sejajar terhadap bahu dengan jari-jarinya sejajar dengan telinga.
Selanjutnya kedua tangan yang tadinya diangkat diturunkan keposisi antara perut dan dada seraya membaca do’a iftitah atau do’a pembuka, dan salah satu dari do’a pembuka yang juga sering dibaca Nabi adalah sebagaimana diterangkan hadis berikut :
Dari Ali bin Abu Thalib, ia berkata : Adalah Nabi Saw bila berdiri sholat beliau membaca : “Wajjahtu Wajhiya Lilladzi Fathorossamaawaatiwal ardho, haniefam muslimaw wamaa ana minal musrykin, inna sholati wanusukie wamahyaaya wamamaatie lillaahi Robbil ‘Aalamin. Laa Syarikalah Wabidzalika umirtu wa ana minal muslimin. Allahumma Antal Mulku Laailaaha ilaa Anta, Anta Robbi Wa ana ‘Abduka, Zholamtu Nafsi, Wa’taraftu Bidzahbi Faghfirli Dzunubi Jami’an, …(Kuhadapkan wajahku kepada dzat yang menjadikan langit dan bumi dengan lurus dan penuh totalitas, bukanlah aku tergolong orang-orang yang menyekutukan Allah. Sesungguhnya, Sholatku, Ibadahku, hidupku dan matiku adalah untuk Allah, Tuhan yang mengatur alam semesta, tiada sekutu bagi-Nya dan untuk itulah aku diperintah, dan aku adalah tergolong orang-orang yang Muslim. Ya Allah ya Tuhanku. Engkau adalah raja yang tiada tuhan melainkan Engkau, Engkau adalah Tuhanku dan aku adalah hamba-Mu, aku telah berbuat zalim kepada diriku sendiri dan aku telah mengakui dosa-dosaku, karenanya ampunilah dosa-dosaku semuanya).
Adapun menyangkut posisi kedua tangan, maka tangan kanan berada diatas tangan kiri sebagaimana terdapat dalam beberapa riwayat yang akan disebutkan. Pengaturan yang seperti ini bisa kita duga sebagai bentuk sikap takzim dan hormat kepada Allah sipemilik kebenaran, layaknya dalam kehidupan ini seorang tentara yang juga memiliki sikap takzim tertentu tatkala ia menghadap seorang Jenderal atasannya :
Dari Ali, ia berkata : ‘Sesungguhnya salah satu dari tuntunan Nabi mengenai Sholat, yaitu meletakkan telapak tangan diatas telapak tangan, dibawah pusar’. – Riwayat Ahmad dan Abu Daud
Dari Ibnu Mas’ud, sesungguhnya ia pernah sholat, lalu ia meletakkan tangan kirinya diatas tangan kanan, kemudian perbuatannya itu dilihat oleh Nabi Saw, lalu beliau meletakkan tangan kanannya diatas tangan kiri – Riwayat Abu Daud, Nasai dan Ibnu Majah
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa dalam sholat, pandangan mata kita seyogyanya tidak berpaling dari tempat sujud apalagi sampai celingukan kesana kemari. Hal ini bisa kita terima secara logis, bahwa dalam melakukan konsentrasi hal yang pertama harus kita lakukan adalah pemusatan pikiran, seseorang tidak akan bisa konsentrasi selama dia tidak menyelaraskan semua panca inderanya. Karena itu seorang ahli hypnotis selalu mengarahkan obyeknya untuk fokus pada satu titik tertentu. Begitupun dengan sholat yang kita memang diperintahkan untuk bersikap khusuk yaitu suatu sikap konsentrasi yang diikuti oleh hati, gerakan tubuh dan pikiran.
Dari Abdullah bin az Zubair, ia berkata : Adalah Rasulullah Saw apabila duduk dalam tahyat, beliau meletakkan tangan kanan diatas pahanya yang kanan pula, sedang tangannya yang kiri diatas pahanya yang kiri. Dan beliau berisyarat dengan telunjuknya, sedang pandangannya tidak melebihi isyaratnya tersebut. – Riwayat Abu Daud, Nasai dan Ahmad
Luruskan mukamu di setiap sholat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan keta’atanmu kepada-Nya – Qs. 7 al-a’raaf 29
Setelah membaca do’a iftitah maka kita diwajibkan untuk membaca surah al-Fatihah sebagaimana bisa kita lihat dalam beberapa riwayat hadis berikut ini :
Tidaklah sholat bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah – Riwayat Bukhari dan Muslim
Tidak cukup sholat bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah – Riwayat Daruquthni
Dari ‘Aisyah ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda : ‘Barangsiapa sholat dengan tidak membaca Ummul Qur’an (al-Fatihah), maka sholat
nya itu tidak sempurna’ – Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah
Meskipun demikian dibeberapa riwayat lainnya kewajiban membaca al-Fatihah ini bisa diganti dengan bacaan-bacaan lainnya bagi mereka-mereka yang memang belum atau tidak bisa membaca ayat-ayat al-Qur’an dengan baik (lafal dan artinya), dalam konteks kita sekarang keringanan ini berlaku bagi para muallaf atau orang-orang yang baru memeluk Islam dan sedang belajar Sholat.
Dari Rifa’ah bin Rafi’, sesungguhnya Rasulullah Saw mengajar sholat kepada seorang laki-laki, lalu ia bersabda : ‘Jika kamu bisa membaca Qur’an maka bacalah, tetapi jika tidak, maka bacalah ‘alhamdulillah, Allahu Akbar dan Laa ilaaha Illallah (Segala puji bagi Allah, Allah Maha Besar dan Tiada tuhan selain Allah); kemudian ruku’lah – Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi
Dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata : Seorang laki-laki datang kepada Nabi, lalu ia berkata : ‘Aku tidak dapat membaca Qur’an sama sekali, oleh karena itu ajarlah aku bacaan yang kiranya bisa mencukupi sholatku’, maka bersabdalah Nabi : ‘Bacalah : Subhanallah Walhamdulillah Walaa ilaaha iLlaAllah Wallahu Akbar Walaa Haula Walaa Quwwata Illaa Billaah (Maha Suci Allah dan segala puji bagi Allah, Tiada tuhan kecuali Allah dan Allah Maha Besar, tiada daya upaya kecuali atas bantuan Allah) – Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Nasai
Membaca al-Fatihahpun menjadi tidak wajib saat posisi seseorang menjadi makmum dari suatu sholat berjemaah.
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Saw telah bersabda : ‘sesungguhnya imam itu dijadikan adalah untuk di-ikuti, karena itu apabila ia telah takbir maka takbirlah kamu dan apabila ia sudah membaca maka diamlah kamu’ – Riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud dan Nasai
Dari Abdullah bin Syaddad meriwayatkan, sesungguhnya Nabi Saw telah bersabda : ‘Barangsiapa sholat dibelakang imam, maka bacaan imam itu adalah menjadi bacaannya’. – Riwayat Daruquthni
Cukuplah buatmu bacaan imam itu, baik dia membacanya perlahan ataupun nyaring – Riwayat Khallal dan Daruquthni
Dijadikan imam itu hanya untuk di-ikuti, lantaran itu apabila ia takbir hendaklah kamu takbir dan bila ia membaca hendaklah kamu diam – Riwayat Ahmad
Dari Abu hurairah, sesungguhnya Rasulullah Saw setelah selesai mengerjakan Sholat yang ia keraskan bacaannya, lalu bertanya : ‘Apakah tadi ada seseorang diantara kamu yang membaca bersama aku ? ‘ – maka berkatalah seseorang : ‘Betul, ya Rasulullah ! kemudian Nabi bertanya : ‘Mengapa aku dilawan dengan al-Qur’an ?’ – Riwayat Abu Daud, Nasai dan Tirmidzi
Telah berkata Jabir : barangsiapa sholat satu raka’at dengan tidak membaca al-Fatihah maka tidak disebut Sholat kecuali dibelakang imam – Riwayat Malik
Dari ‘Aisyah, ia berkata : Rasulullah Saw pernah sholat dirumahnya dalam keadaan sakit, lalu beliau sholat dengan duduk. Dan datang sekelompok orang sholat dibelakangnya dengan berdiri. Lalu Nabi memberi isyarat kepada mereka ‘hendaklah kalian duduk’. Lalu ketika selesai sholat, Nabi bersabda : ‘sesungguhnya imam itu dijadikan supaya di-ikuti, karenanya bila ia ruku’ maka ruku’lah dan bila ia mengangkat kepala maka angkatlah kepala kalian, bila ia sholat dengan duduk maka sholatlah pula kalian dengan duduk.’ – Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim
Memang ada beberapa hadis lain yang membuat pengecualian membaca al-Fatihah dibelakang imam yang sedang membaca surah al-Qur’an, namun penulis menganggap hadis-hadis tersebut bertentangan secara nyata dengan hadis-hadis diatas dan bahkan bertentangan dengan al-Qur’an sendiri yang mewajibkan kita diam saat al-Qur’an dibacakan serta secara rasio logikapun tidak bisa dibenarkan, sebab imam itu memang dijadikan untuk kita ikuti, kita harus melakukan koreksi setiap bacaan yang keluar dari mulut sang imam, jika memang ada salah maka kitapun wajib memperbaikinya, sekarang bagaimana kita akan tahu imam salah atau tidaknya jika kita sendiri sibuk membaca ayat al-Qur’an dibelakang imam yang juga sedang membaca ayat al-Qur’an ? dimana pula letak rahmat yang kita peroleh dari menentangkan al-Qur’an dengan al-Qur’an itu ?
Dan apabila Qur’an dibaca, maka perhatikanlah dan diamlah agar kamu mendapatkan rahmat.- Qs. 7 al-‘A’raaf : 203
Surah al-Fatihah sendiri merupakan surah pertama dalam al-Qur’an meskipun ia bukan surah pertama yang turun kepada Nabi, didalam surah al-Fatihah ini terdapat ayat-ayat pujian kepada Allah, ayat-ayat pengesaan akan dzat-Nya serta ayat-ayat do’a atau permohonan bantuan kita sebagai makhluk yang lemah terhadap Allah.
Surah al-Fatihah ini terdiri dari tujuh ayat dan mengenai susunannya memang terdapat perbedaan dikalangan ulama Islam, apakah ayat pertama dimulai dari Bismillah ataukah dimulai dari Alhamdulillah, namun sebenarnya hal ini tidak perlu dipertentangkan karena dalam sebuah hadis yang panjang dari Abu Hurairah riwayat Jama’ah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah disebutkan bahwa al-Fatihah itu dimulai dari Alhamdulillah, sementara bacaan Bismillah itu sendiri merupakan bacaan pemisah dan pembuka antar ayat-ayat al-Qur’an kecuali surah al-Bara’ah, dengan demikian ayat Bismillahhirrohmanirrohim ini bukan termasuk ayat al-Fatihah namun ia merupakan ayat tersendiri, sama seperti didalam surah-surah al-Qur’an yang lainnya.

Alhamdulillahhirobbil ‘Alamin (segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh makhluk) – ayat 1
Arrohmanirrohim (Yang sangat pengasih dan penyayang) – ayat 2
Maaliki yaumiddin (Yang menguasai hari pembalasan) – ayat 3
Iyyakana’budu waiyyakanasta’in (Hanya kepada-Mu saja kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami memohon bantuan) – ayat 4
Ihdinassirotol mustaqim (Tunjukkanlah kami pada jalan kebenaran) – ayat 5
Shirotolladzi na’anamta ’alaihim (Jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka) – ayat 6
Ghoiril maghduubi ‘alaihim waladdhollien (bukan jalan mereka yang Engkau murkai dan bukan jalan orang yang sesat) – ayat 7
Wassalam,

KEMUDAHAN SHOLAT

KEMUDAHAN SHOLAT
Assalamu’alaykum Wr. Wb.
Tidak bisa dipungkiri, sholat dianggap oleh kebanyakan dari umat Islam sebagai sebuah ritual yang sangat berat untuk dikerjakan apalagi untuk melengkapinya sejumlah lima waktu seperti yang diperintahkan oleh Allah melalui Nabi-Nya.; Belum lagi dengan banyaknya syarat-syarat yang ditetapkan oleh para ulama sehingga sholat dirasakan semakin kompleks dan penuh aturan. Padahal sebenarnya ajaran Islam tidak rumit apalagi bersifat memberatkan umatnya.
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menginginkan kesukaran bagimu – Qs. 2 al-Baqarah : 185
Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya – Qs. 6 al-an’aam: 152
Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, sabdanya : sesungguhnya Islam itu mudah ; dan barang siapa yang memperberatnya, ia akan dikalahkan oleh agamanya – Hadis Riwayat Bukhari
Islam sebagai agama wahyu merupakan ajaran rasional, tidak bertentangan dengan fitrah manusia yang diciptakan oleh Yang Maha pembuat wahyu itu sendiri.; karenanya, pembuat mobil Kijang tentu tidak akan memberikan buku petunjuk (manual book) untuk mobil Sedan, demikian juga sebaliknya.
Begitulah Islam, dia diturunkan oleh Allah yang menciptakan manusia, maka bagaimana mungkin Allah akan menurunkan buku petunjuk berisi pedoman yang tidak sesuai dengan karakteristik manusia itu sendiri ?
Sesuai isi hadis diatas, Nabi berpesan agar manusia tidak memperberat ajaran Islam sebab hanya akan membuat manusia itu dikalahkan oleh agama. Dimana akhirnya tidak akan ada amal yang sempat diperbuat oleh simanusia itu sendiri karena dia selalu memandang semua perintah agama itu sulit dan berat untuk dilakukan sehingga akhirnya tidak ada satupun kewajiban agama yang dijalankannya. Perintah sholat salah satu kewajiban yang memiliki banyak kemudahan dalam praktek pengamalannya, berikut beberapa poin penting kemudahan tersebut :
1.Jika saat waktu sholat tiba namun mata mengantuk, maka lebih utama untuk menundanya setelah bangun dari tidur :
Dari ‘Aisyah : Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda : ‘Apabila seseorang dari kamu mengantuk dan dia hendak sholat maka tidurlah sampai kantuknya hilang. Karena apabila seseorang sholat dalam keadaan mengantuk, dia tidak sadar, bisa saja dia hendak meminta ampun kepada Tuhan tetapi dia malah memaki dirinya sendiri’
– Hadis Riwayat Bukhari
2.Bila memang kita belum melakukan sholat namun ketiduran, maka sholat boleh dikerjakan saat bangun tidurnya :
Dari Abu Qatadah ia berkata : ‘Sahabat-sahabat menceritakan kepada Nabi Saw tentang tertidurnya mereka sebelum sholat, lalu Nabi Saw bersabda : sesungguhnya didalam tidur itu tidak ada kelalaian karena kelalaian itu hanyalah dalam keadaan terjaga karenanya apabila salah seorang diantara kamu lupa sholat atau tertidur maka sholatlah ketika ingat ! ‘ – Hadis Riwayat Nasai dan Tirmidzi
3.Bila bangun kesiangan tetapi sholat subuh belum ditunaikan, tetap syah mengerjakannya meskipun hari sudah tidak lagi subuh :
Dari Abu Rajak dari ‘Auf dari Imran, katanya : Adalah kami pada suatu perjalanan bersama dengan Nabi Saw dan kami berjalan malam hari dan ketika larut malam, tidurlah kami dan tidak ada tidur yang lebih nyenyak dari itu bagi orang musafir tidak ada yang membangunkan kami selain panas matahari.
Nabi Saw apabila beliau tidur tidak dibangunkan sampai beliau bangun sendirinya, kami tidak tahu apa yang sedang terjadi dalam tidurnya. Setelah umar bangun dan dilihatnya apa yang terjadi pada orang banyak (mereka masih tidur sementara matahari telah tinggi) maka umar yang berkepribadian keras lalu bertakbir dan dikeraskannya suaranya membaca takbir itu hingga bangunlah Nabi Saw;
Setelah Nabi bangun, mereka mengadukan kepada Nabi hal kesiangan mereka ; Jawab Nabi : tidak mengapa dan mari kita berangkat !
lalu Nabi berangkat dan setelah berjalan tidak seberapa jauh, Nabi berhenti dan meminta air untuk berwudhu’, lalu Nabi berwudhu’ dan orang banyakpun dipanggil untuk sholat, maka sholatlah Nabi bersama mereka – Hadis Riwayat Bukhari

4.Bila lupa mengerjakan sholat, maka boleh melakukannya setelah ingat.
Dari Anas, dari Nabi Saw sabdanya :’Barang siapa yang lupa mengerjakan sholat maka sholatlah setelah dia ingat tidak ada hukuman baginya selain dari itu dan kerjakanlah sholat untuk mengingat Tuhan.’
– Hadis Riwayat Bukhari
5.Bila tubuh sedang letih, boleh melakukan sholat sambil duduk
Nabi Saw datang kerumah zainab (salah seorang puteri beliau)
Kebetulan disitu ada tali terbentang antara dua tonggak; Nabi bertanya : tali apa ini ? Orang banyak menjawab : tali untuk zainab apabila ia letih mengerjakan sholat berpeganglah ia ditali itu ;
sabda Nabi : Tidak boleh, bukalah !
Hendaklah kamu mengerjakan sholat menurut kesanggupannya ; apabila telah letih, duduklah – Hadis Riwayat Bukhari
6.Bila cuaca sedang panas, bisa menunggu hingga sampai keadaan cuaca mereda
Dari Abu Dzar, ia berkata : ‘Kami pernah bersama Nabi Saw, ketika muadzin hendak azan Zhuhur, Nabi bersabda : Tunggulah sampai dingin ; Kemudian muadzin hendak azan lagi, Nabi bersabda kepadanya : ‘Tunggulah sampai dingin’ ! ; Sehingga kami melihat bayangan bukit, lalu Nabi bersabda : Sesungguhnya panas itu uap neraka, karenanya bila keadaan sangat panas maka akhirkanlah waktu sholat sampai dingin !’ – Hadis Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim
7.Bila saat sholat berbenturan dengan waktu makan, maka boleh mendahulukan makan sebab sholat dalam keadaan lapar sementara makanan sudah siap diatas meja hanya akan membuat pikiran tidak tenang dan konsentrasi sholat menjadi terganggu
Dari ‘Aisyah, bahwa Nabi Saw bersabda : ‘ Apabila akan didirikan sholat, sedangkan makan malam telah dihidangkan maka dahulukanlah makan malam itu’ – Hadis Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim
8.Bila sedang dalam perjalanan, kita boleh menyingkat sholat yang tadinya berjumlah empat raka’at menjadi dua raka’at saja
Dari Ibnu Umar, r.a, katanya : ‘Pernah saya menemani Nabi Saw dan sholat beliau dalam perjalanan tidak lebih dari dua raka’at’
– Hadis Riwayat Bukhari
9.Wanita yang sedang dalam keadaan menstruasi diperbolehkan untuk meninggalkan sholat mereka
Dari ‘Aisyah r.a : … (disingkat -pen) ; Nabi menjawab : ‘Karena itu, apabila datang darah haid, tinggalkan sholat dan bila darah haid itu habis maka mandilah untuk sholat ‘ – Hadis Riwayat Bukhari
10.Boleh mengerjakan sholat dimana saja tanpa harus melakukannya disurau, masjid dan sejenisnya :
Dari Jabir bin Abdullah r.a, katanya : ‘Rasulullah Saw pernah bersabda: dijadikan bumi untukku menjadi alat bersuci dan tempat sujud; karena itu, sholatlah kamu dimana saja kamu mendapati waktu sholat
– Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim

11. Kerjakanlah sholat sesuai kondisi tubuh :
Dari ‘Ali, r.a, katanya : bersabda Nabi Saw : ‘ Sholatlah orang yang sakit dengan berdiri jika ia bisa ; bila tidak mampu maka sholatlah dengan duduk ; jika tidak mampu untuk sujud, isyaratkan saja dengan kepala ; dan dijadikannya sujudnya itu lebih rendah dari ruku’nya ; jika tidak mampu sholat duduk, maka sholatlah sambil berbaring kekanan serta menghadap kiblat; jika tidak mampu juga maka sholatlah dengan menelentang ; sedang kedua kakinya membujur kearah kiblat’
Hadis Riwayat Daruquthni
12. Sholat tidak menghalangi kita untuk tetap menjaga balita
Dari Abu Qatadah al Anshari : Sesungguhnya Rasulullah Saw sholat sambil mendukung Umamah binti zainab binti Rasulullah; apabila Nabi sujud, diletakkannya Umamah itu dan saat ia berdiri didukungnya kembali – Hadis Riwayat Bukhari
Dari Abu Hurairah berkata : Kami Sholat Isya’ beserta Nabi ; Apabila beliau bersujud, Hasan dan Husen melompat atas punggungnya; Karena itu, apabila Nabi mengangkat kepalanya beliau mengangkat Hasan dan Husen dari punggung dengan lembut dan mendudukkannya ke lantai; ketika Nabi kembali sujud, Hasan dan Husen kembali menduduki punggungnya ; demikian keadaan itu berlangsung hi
ngga selesai sholat
sesudah selesai sholat, Nabi mendudukkan salah seorangnya keatas pahanya – Hadis Riwayat Ahmad
13. Meskipun sholat berjemaah itu baik, namun bila sebagai makmum kita datang terlambat padahal imam sudah memulai raka’at sholatnya, tidak perlu berlari mengejar ketinggalan :
Dari Abu Hurairah, katanya : Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda : ‘Apabila kamu mendapati orang telah sholat, janganlah kamu berlari-lari mengejarnya berjalanlah seperti biasa dan hendaklah kamu bersikap tenang diraka’at mana kamu dapatkan, teruskanlah dan mana yang ketinggalan maka sempurnakanlah – Hadis Riwayat Bukhari
14. Hujan dan becek tidak menghalangi sholat
Kata Abu Sa’id al Khudri : ‘Datang awan gelap, maka hujanlah hari sampai bocor atap masjid dan atap itu dari pelepah batang korma ; lalu orang sholat dan kulihat Rasulullah Saw sujud diatas air dan tanah hingga kulihat bekas-bekas tanah dikeningnya – Hadis Riwayat Bukhari
Demikianlah beberapa poin kemudahan yang ada dalam sholat yang sudah diberikan Allah melalui Rasul-Nya dan telah diteladani pula oleh keluarga dan sahabatnya, sehingga tidak ada alasan bagi kita selaku umat Islam untuk melalaikan sholat apalagi sampai membuatnya seolah suatu ritual yang sangat rumit dan tidak manusiawi.
Sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sholat
Hadis Riwayat Ahmad dan Bukhari dari Malik bin al-huwairits

Wassalam,

SHOLAT DALAM AL-QUR'AN

Assalamu’alaykum Wr. Wb.
Secara kontekstual dan tersurat, tidak akan ditemukan adanya ayat yang memerintahkan sholat lima waktu didalam al-Qur’an. Akan tetapi ketiadaan keterangan mengenainya bukan berarti perintah sholat lima waktu sebagaimana dilakukan oleh umat Islam sekarang ini bertentangan dengan al-Qur’an. Karena waktu yang lima untuk sholat ini dijelaskan secara tersirat dalam beberapa ayat.
Kaum anti hadis, yaitu mereka yang enggan menggunakan sunnah ataupun hadis Nabi dengan alasan bahwa hadis telah mengalami distorsi dan susahnya memilah manakah yang benar-benar berasal dari Nabi dan mana yang buatan atau rekayasa pihak-pihak tertentu sembari mengemukakan bahwa al-Qur’an sudah cukup jelas dan terperinci sehingga tidak lagi memerlukan penafsiran ataupun tambahan dari hadis, biasanya akan mengatakan bahwa waktu sholat didalam al-Qur’an itu hanya tiga waktu bukan lima waktu, yaitu Fajar, Wusthaa dan Isya, berikut akan coba kita kemukakan bahwa pendapat yang demikian ini keliru.
Dan dirikanlah shalat itu pada dua bagian siang (dzuhur dan ashar) dan disebagian dari malam (isya) – Qs. Huud 11 : 114
Ayat ini menunjukkan adanya dua waktu sholat pada dua bagian bagian siang, kita semua tahu yang disebut siang itu adalah saat matahari masih bersinar dan melampaui titik zenithnya. Kedua waktu ini bersesuaian dengan hadis mengenai adanya sholat dzuhur dan ashar. Selanjutnya diujung ayat disebut satu lagi waktu sholat yaitu pada sebagian malam, dan ini bisa merujuk pada sholat isya, sehingga dari ayat ini saja bisa diperoleh tiga waktu sholat, yaitu dzhuhur, ashar dan isya.
Hendaklah engkau mendirikan sholat diwaktu tergelincirnya matahari (maghrib) sampai kelam malam (isya) dan dirikanlah sholat subuh …
– Qs. al-Israa 17:78
Saat matahari tergelincir yaitu saat yang disebut dengan syafaq atau senja, ayat ini merujuk akan adanya kewajiban mendirikan sholat maghrib pada waktu tersebut. Sedangkan kelam malam adalah waktu dimana matahari sudah tenggelam dan kegelapan pekat menyelimuti bumi dimana waktu-waktu ini sangat baik untuk melaksanakan sholat (lihat pula surah al-Muzammil 73 ayat 2 s/d 4) dan sholat yang demikian bisa juga kita pahami sebagai sholat isya. Sedangkan akhir ayat secara jelas merujuk pada sholat fajar atau sholat subuh, sehingga tidak perlu kita bahas lebih jauh.
Dari kedua ayat ini saja, kita sudah memperoleh gambaran bahwa sholat itu sebenarnya memang ada lima waktu, sama seperti yang bisa ditemui dalam hadis-hadis Nabi serta yang menjadi tradisi kaum muslim dari jaman kejamannya. Yaitu sholat Subuh, Maghrib dan Isya tercantum dalam surah al-Israa’ 17 ayat 78 dan sholat Dzuhur dan Ashar tercantum pada surah Huud 11 ayat 114.
Selanjutnya kita akan membahas pula surah an-Nuur yang menyatakan adanya 3 waktu sholat.
…. meminta izin kepadamu pada 3 waktu, sebelum sholat subuh dan ketika kamu melepaskan pakaianmu ditengah hari (dzuhur) dan setelah sholat Isya’, itulah 3 aurat buat kamu. Tidak ada larangan atas kamu selain dari itu. – Qs. an-Nuur 24 : 58
Pertama, dalam ayat ini ada istilah malakat aimanukum ada yang menterjemahkannya sebagai hamba sahaya, ada yang menterjemahkan sebagai budak dan ada pula yang menterjemahkan sebagai orang-orang yang berada dibawah tata hukum kita seperti misalnya pembantu, tukang kebun, anak-anak yang belum cukup umur dan semacamnya.
Hal yang kedua, bahwa ayat ini berbicara juga mengenai aurat yang terbuka, dimana harus dipahami berkenaan dengan tata krama yang harus dilakukan oleh mereka-mereka yang ada dalam istilah malakat aimanukum untuk menemui Nabi (konteks waktu itu) atau untuk bertemu dengan kita (dalam konteks sekarang) dimana ketiga waktu ini bila kita telusuri dengan logika merupakan waktu-waktu dimana kita memang secara umum sedang dalam keadaan beristirahat.
Misalnya waktu sebelum subuh, adalah waktu dimana sebagian dari kita masih ada yang terlelap dalam tidur panjang, dan sudah sama-sama dimaklumi bila kita tidur maka keadaan pakaian yang kita pakaipun akan acak-acakan, ada yang tidur dengan buka baju, ada yang hanya pakai celana pendek, ada juga yang pakai baju tidur ada juga yang memakai rok longgar yang mana bagi kaum wanita saat itu bisa saja posisinya sedang dalam keadaan tertentu sehingga dikhawatirkan pula dapat membuat syahwat bergolak. Karenanya alasan meminta izin sebelum langsung masuk menemui kita bisa diterima secara baik.
Lalu tengah hari disebutkan saat kita menanggalkan pakaian, ini secara umum dalam konteks masa kini adalah waktu dimana kita sedang beristirahat melepas lelah, habis bersantap siang jika tidak sedang berpuasa, dan saat kita mengaso yang mana ada diantara kita melakukannya sambil tidur-tiduran, buka baju atau menggantinya dengan baju dalam karena siang hari biasanya keadaan diluar rumah sangat panas menyengat.
Demikian pula dengan waktu setelah sholat Isya’, dimana kita biasanya sudah bersiap untuk tidur dan auratpun sudah tidak menjadi perhatian lagi, misalnya wanita ada yang sudah buka jilbab, ada yang menggunakan pakaian tidur longgar, yang lelaki dengan alasan panas menggunakan celana pendek, melepas baju dan sebagainya.
Jadi ketiga waktu yang disebut dalam al-Qur’an sebagai waktu terbukanya aurat ini tidak mengindikasikan masalah waktunya tiga sholat wajib melainkan tiga waktu dimana orang-orang dalam kategori malakat aimanukum harus meminta izin sebelum masuk menemui kita.
Wassalam,

SEJARAH SHOLAT

SEJARAH SHOLAT
Assalamu’alaykum Wr. Wb.
Dirikanlah sholat, sungguh ini merupakan kewajiban yang ditentukan waktunya bagi orang-orang yang beriman
– Qs. 4 an-nisaa’ :103- 104
Hai orang-orang yang beriman, Ruku’ dan sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu ; Berbuatlah kebaikan, supaya kamu mendapatkan kemenangan – Qs. 22 al-hajj : 77
Istilah Sholat berasal dari kata kerja Shalaah (yang menyatakan suatu perbuatan) dan orang yang melakukannya disebut Mushallin, sementara pusat tempat melakukannya disebut Musholla.
Kecuali bagi orang yang mushollin (yang mengerjakan sholat)
– Qs. 70 al-Ma’arij : 22
Jadikanlah sebagian dari maqam Ibrahim itu musholla (tempat sholat)
– Qs. 2 al-Baqarah: 125
Sholat merupakan suatu perbuatan memuliakan Allah yang menjadi suatu tanda syukur kaum muslimin sebagai seorang hamba dengan gerakan dan bacaan yang telah diatur khusus oleh Nabi Muhammad Saw yang tidak boleh dirubah kecuali ada ketentuan-ketentuan yang memang memperbolehkannya[1].
Perintah sholat sendiri sudah harus diperkenalkan sejak dini kepada generasi muda Islam agar kelak dikemudian hari mereka tidak lagi merasa canggung, malu atau malah tidak bisa melakukannya.
Dari Amer bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, berkata :
Rasulullah Saw bersabda: ‘Perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan sholat disaat mereka berumur 7 tahun dan pukullah mereka jika tidak mengerjakannya saat mereka berumur 10 tahun’
– Hadis Riwayat Ahmad dan abu daud
Perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan sholat ; dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya – Qs. 20 thaahaa: 132
Dari Hadis kita mendapati bahwa mendirikan sholat sudah ditekankan mulai umur 7 tahun dan bila sampai usia 10 tahun belum juga melaksanakannya maka kita seyogyanya mulai diberi penegasan berupa pukulan sampai mereka mau mendirikannya. ; Tentu pukulan yang dimaksud disini tidak dengan tujuan menyakiti apalagi sampai pada tingkat penganiayaan, namun sekedar memberi pengajaran dan peringatan agar mau dan tidak malas untuk sholat. Bukankah secara paradoks siksa Allah jauh lebih keras dari sekedar pukulan yang kita berikan dalam rangka menyayangi anak-anak kita dan menghindarkan mereka dari azab Allah ?
Jagalah dirimu dari hari dimana seseorang tidak dapat membela orang lain walau sedikitpun dan hari tidak diterima permintaan maaf serta tidak ada tebusan baginya dan tidaklah mereka akan ditolong
Qs. 2 al-Baqarah : 48
Namun al-Quran juga disatu sisi tidak menjelaskan secara detil sejak kapan dan bagaimana teknis pelaksanaan Sholat yang diperintahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Meski demikian al-Quran secara tegas menyatakan bahwa Sholat sudah dilakukan oleh umat-umat sebelumnya, seperti perintah Sholat kepada Nabi Ibrahim dan anak cucunya[2], kepada Nabi Syu’aib[3], kepada Nabi Musa[4] dan kepada Nabi Isa al-Masih[5]. Pernyataan al-Qur’an tersebut dibenarkan oleh cerita-cerita yang ada dalam Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang mengisahkan tata cara beribadah para Nabi sebelum Muhammad yaitu ada berdiri, ruku dan sujud yang jika dirangkai maka menjadi Sholat seperti Sholatnya umat Islam.
Segeralah Musa berlutut ke tanah, lalu sujud menyembah
Perjanjian Lama – Kitab Keluaran 34:8
Masuklah, marilah kita sujud menyembah,
berlutut di hadapan TUHAN yang menjadikan kita.
Perjanjian Lama – Kitab Mazmur 95:6
Lalu sujudlah Yosua dengan mukanya ke tanah, menyembah
Perjanjian Lama – Kitab Yosua 5:14
Tetapi Elia naik ke puncak gunung Karmel, lalu ia membungkuk ke tanah,
dengan mukanya di antara kedua lututnya
Perjanjian Lama – Kitab I Raja-raja 18:42
Maka pergilah Musa dan Harun dari umat itu ke pintu Kemah Pertemuan,
lalu sujud. Kemudian tampaklah kemuliaan TUHAN kepada mereka.
Perjanjian Lama – Kitab Bilangan 20:6
Kemudian ia menjauhkan diri dari mereka kira-kira sepelempar batu jaraknya
lalu ia berlutut dan berdoa – Perjanjian Baru – Injil Lukas 22:41
Ia maju sedikit, merebahkan diri ke tanah dan berdoa
– Perjanjian Baru – Injil Markus 14:35
Dari kenyataan ini, maka jelas bagi umat Islam bahwa Sholat sudah menjadi suatu tradisi dan ajaran yang baku bagi semua Nabi dan Rasul Allah sepanjang jaman, sebagaimana firman-Nya :
Sebagai ketentuan Allah yang telah berlaku sejak dahulu, Kamu sekalipun tidak akan menemukan perubahan Bagi ketentuan ALLAH itu
– Qs. 48 al-fath: 23
Kisah perjalanan Nabi Muhammad mengarungi angkasa raya yang disebut dengan istilah Isra’ dan Mi’raj yang menceritakan awal diperintahkannya Sholat kepada Nabi Muhammad sebagaimana terdapat dalam beberapa hadis yang dianggap shahih atau valid oleh sejumlah ulama secara logika justru mengandung banyak ketidaksesuaian dengan fakta sejarah dan ayat-ayat al-Quran sendiri.
Menurut hadis, Isra’ dan Mi’raj terjadi sewaktu Khadijah, istri pertama Rasulullah wafat, dimana peristiwa ini justru menjadi salah satu hiburan bagi Nabi yang baru ditinggalkan oleh sang istri tercinta dan juga paman beliau, Abu Thalib dimana tahun ini disebut dengan tahun duka cita atau aamul ilzan[6].
Sementara sejarah juga mengatakan bahwa jauh sebelum terjadinya Isra’ dan Mi’raj, Nabi Muhammad dipercaya telah melakukan Sholat berjemaah dengan Khadijjah sebagaimana yang pernah dilihat dan ditanyakan oleh Ali bin abu Thalib yang kala itu masih remaja[7].
Logikanya perintah Sholat telah diterima oleh Nabi Muhammad bukan saat beliau Isra’ dan Mi’raj namun jauh sebelum itu, apalagi secara obyektif ayat al-Qur’an yang menceritakan mengenai peristiwa Mi’raj sama sekali tidak menyinggung tentang adanya pemberian perintah Sholat kepada Nabi.[8] ; Pada kedua surah tersebut hanya menekankan cerita perjalanan Nabi tersebut dalam rangka menunjukkan sebagian dari kebesaran Allah dialam semesta sekaligus merupakan kali kedua bagi Nabi melihat wujud asli dari malaikat Jibril setelah sebelumnya pernah beliau saksikan saat pertama mendapat wahyu di gua Hira.
Selain itu, diluar hadis Isra’ dan Mi’raj yang menggambarkan Nabi memperoleh perintah Sholat pada peristiwa tersebut, Imam Muslim dalam musnadnya ada meriwayatkan sebuah hadis lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan cerita Mi’raj namun disana menjelaskan bagaimana Nabi mempelajari Sholat dari malaikat Jibril.
Dari Abu Mas’ud r.a. katanya : Rasulullah Saw bersabda : turun Jibril, lalu dia menjadi imam bagiku Dan aku sholat bersamanya, kemudian aku sholat bersamanya, lalu aku sholat bersamanya dan aku sholat bersamanya dan aku sholat bersamanya Nabi menghitung dengan lima anak jarinya – Hadis Riwayat Muslim[9]
Jika demikian adanya, bagaimana dengan kebenaran hadis yang dipercaya oleh banyak orang bahwa perintah Sholat baru diperoleh Nabi sewaktu isra’ dan mi’raj ?
Mungkin kedengarannya ekstrim, tetapi meragukan atau malah menolak keabsahan validitas hadis-hadis tersebut bukanlah perbuatan yang tercela apalagi berdosa, dalam hal ini kita tidak menolak dengan tanpa dasar yang jelas, para perawi hadis tetaplah manusia biasa seperti kita adanya, mereka juga bisa salah baik disengaja apalagi yang tanpa mereka sengaja atau sadari, adalah kewajiban kita untuk melakukan koreksi jika mendapatkan kesalahan pada riwayat hadis yang mereka lakukan tentunya dengan tetap menjaga kehormatannya dan berharap semoga Allah mengampuni kesalahannya.
Beberapa kejanggalan variasi cerita Isra’ dan Mi’raj diantaranya sebut saja kisah Nabi Muhammad dan Buraq ketika berhenti di Baitul maqdis dan melakukan sholat berjemaah didalam masjidil aqsha bersama arwah para Nabi sebelumnya, padahal sejarah mencatat bahwa masjid al-aqsha baru dibangun pada masa pemerintahan Khalifah umar bin khatab tahun 637 masehi saat penyerbuannya ke Palestina yang mana notabene saat itu Nabi Muhammad sendiri sudah cukup lama wafat, beliau wafat tahun 632 masehi.
Cerita sholatnya Nabi Muhammad dan para arwah inipun patut mengundang pertanyaan, sebab Nabi sudah melakukan sholat (menurut hadis itu malah raka’atnya berjumlah 2) sehingga pernyataan Nabi menerima p
erintah Sholat saat Mi’raj sudah bertentangan padahal kisah ini terjadi detik-detik sebelum mi’raj itu sendiri.
Belum lagi cerita sholatnya para arwah Nabi pun rasanya tidak bisa kita terima dengan akal yang logis, masa kehidupan mereka telah berakhir sebelum kelahiran Nabi Muhammad dan mereka sendiri sudah menunaikan kewajiban masing-masing selaku Rasul Allah kepada umatnya, perlu apa lagi mereka yang jasadnya sudah terkubur didalam tanah itu melakukan sholat ?
Setelah selesai sholat berjemaah, lalu satu persatu para arwah Nabi dan Rasul itu memberi kata sambutannya … sungguh suatu hal yang terlalu mengada-ada, karena jumlah mereka ada ribuan yang berasal dari berbagai daerah dibelahan dunia ini, baik yang namanya tercantum dalam al-Quran ataupun tidak[10], berapa lama waktu yang habis diperlukan untuk mengadakan kata sambutan masing-masing para arwah ini ?
Jika dimaksudkan agar semua Nabi dan Rasul itu bertemu dan bersaksi mengenai kebenaran Muhammad, ini dibantah oleh al-Quran sendiri yang menyatakan bahwa pada masa kehidupan mereka dan pengangkatan mereka selaku Nabi dan Rasul, Allah telah mengambil perjanjian dari mereka mengenai akan datangnya seorang Rasul yang membenarkan ajaran mereka sebelumnya lalu terdapat perintah tersirat agar mereka menyampaikan kepada umatnya masing-masing :
Dan ketika Allah mengambil perjanjian terhadap para Nabi :
‘Jika datang kepadamu Kitab dan Hikmah, lalu datang kepada kamu seorang Rasul yang membenarkan apa-apa yang ada tentang diri kamu, hendaklah kamu imani ia secara sebenarnya.’ ; Dia bertanya : ‘Sudahkah kalian menyanggupi dan menerima perjanjian-Ku tersebut ?’ ; Mereka menjawab : ‘Kami menyanggupinya !’ ; Dia berkata : ‘Saksikanlah ! dan Aku bersama kamu adalah dari golongan mereka yang menyaksikan !’
– Qs. 3 ali imron: 81
Puncak kemustahilan cerita dari hadis-hadis mi’raj adalah saat Nabi Muhammad diberitakan telah bolak balik dari Allah ke arwah Nabi Musa untuk penawaran jumlah sholat yang semula 50 kali menjadi 5 kali dalam sehari semalam, apakah sedemikian bodohnya Nabi Muhammad itu sehingga dia harus diberi saran berkali-kali oleh arwah Nabi Musa agar mau meminta keringanan kepada ALLAH sampai 9 kali pulang pergi ?
Tidakkah kekurang ajaran arwah Nabi Musa dalam cerita tersebut dengan menganggap Allah juga tidak mengerti akan kelemahan dan keterbatasan umat Nabi Muhammad sebab tanpa dipikir dulu telah memberi beban kewajiban yang pasti tidak mampu dikerjakan oleh mereka sehingga arwah Nabi Musa itu harus turut campur memberi peringatan kepada Allah dan Nabi Muhammad lebih dari sekali saja sebagai suatu indikasi israiliyat (hadis buatan orang-orang Israel atau Yahudi yang sengaja dibuat untuk tetap memuliakan Nabi Musa diatas yang lain) ?
Apakah hadis-hadis yang demikian ini masih akan diterima dan dipertahankan hanya untuk mempertahankan dalil turunnya perintah Sholat, sementara al-Qur’an sendiri yang nilai kebenarannya sangat pasti justru tidak berbicara apa-apa tentang hal tersebut ?
Tidak diragukan bahwa Nabi Muhammad pernah melakukan Isra’ dan Mi’raj karena hal ini ada didalam al-Quran dan bisa dianalisa secara ilmiah, tidak perlu diragukan pula bahwa Sholat merupakan salah satu kewajiban utama seorang muslim sebab inipun banyak sekali ayatnya didalam al-Quran dan hadis-hadis lain, bahkan sholat merupakan tradisi yang diwariskan oleh semua Nabi dan Rasul dalam semua jamannya. Hanya saja itu tidak berarti kaum muslimin bisa menerima semua riwayat hadis yang isinya secara jelas mempunyai pertentangan dengan al-Quran dan logika, sehingga akhirnya hanya akan menyerahkan akal pada kebodohan berpikir, padahal Allah sendiri mewajibkan manusia untuk berpikir dan berdzikir didalam membaca ayat-ayat-Nya.
[1] Misalnya jika sakit boleh sholat dengan cara duduk, berbaring hingga hanya dengan kedipan mata saja
[2] Lihat surah 21 al-anbiya ayat 73 dan surah 19 Maryam ayat 55
[3] Lihat surah 11 Huud ayat 87
[4] Lihat surah 20 Thaahaa ayat 14
[5] Lihat surah 19 Maryam ayat 31
[6] Drs. Abu Ahmadi, Mutiara isra’ mi’raj, Penerbit Bumi Aksara, hal. 27
[7] Muhammad Husain Haekal , Sejarah Hidup Muhammad, edisi besar, Penerbit Litera antarNusa, 1998, hal. 87 – 88
[8] Lihat surah 17 al-israa ayat 1 dan surah 53 an-najm ayat 13 s/d 18
[9] Fachruddin HS, Terjemah Hadits Shahih Muslim III, Bagian ke-26, Waktu Sembahyang Fardu dan Kiblat, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1979, hal. 170
[10] lihat surah 40 al-mu’min: 78 dan surah. 17 al-israa’: 15
Wassalam,

Kumpulan Hadits Tentang Dazzal

1805. Dari Annawwas bin Sam’an r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. menyebut-nyebutkan perihal Dajjal pada suatu pagi. Beliau s.a.w. menghuraikan Dajjal itu kadang-kadang suaranya direndahkan dan kadang-kadang diperkeraskan – dan Dajjal itu sendiri oleh beliau s.a.w. kadang-kadang dihinanya, tetapi kadang-kadang di-perbesarkan hal-ehwalnya sebab amat besarnya fitnah yang akan ditimbulkan olehnya itu, sehingga kita semua mengira seolah-olah Dajjal itu sudah ada di kelompok pohon kurma. Setelah pada suatu ketika kita pergi ke tempatnya, beliau s.a.w. kiranya telah mengetahui apa yang ada di dalam perasaan kita, lalu bertanya: “Ada persoalan apakah engkau semua ini?”
Kita menjawab: “Ya Rasulullah,Tuan menyebut-nyebutkan Dajjal pada suatu pagi, Tuan merendahkan serta mengeraskan suara – dan Dajjal itu Tuan hinakan, juga Tuan perbesarkan peristiwanya kerana besarnya fitnah yang akan ditimbulkan olehnya, sehingga kita semua mengira bahawa ia sudah ada di kelompok pohon kurma.” Beliau s.a.w. lalu bersabda: “Kecuali Dajjal, itulah yang paling saya takutkan kalau menimpa atas dirimu semua. Jikalau ia keluar dan saya masih ada di kalangan engkau semua, maka sayalah penentangnya untuk melindungi engkau semua. Tetapi jikalau ia keluar dan saya sudah tidak ada di kalangan engkau semua, maka setiap manusia adalah sebagai penentang guna melindungi dirinya sendiri dan Allah adalah penggantiku dalam melindungi setiap orang Muslim.
Sesungguhnya Dajjal adalah seorang pemuda yang rambutnya sangat keriting, matanya menonjol, seolah-olah saya menyamakan-nya dengan Abul ‘Uzza bin Qathan. Maka barangsiapa yang dapat bertemu dengannya, maka hendaklah membacakan atasnya ayat-ayat permulaan surat al-Kahfi. Dajjal itu akan keluar di Khallah, suatu jalanan yang terletak antara Syam dan Irak, lalu membuat kerusakan di bagian sebelah kanannya dan juga membuat kerosakan di bahagian sebelah kirinya. Maka itu hai hamba-hamba Allah, tetapkanlah keimananmu semua.” Kita para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, berapa lama ia menetap di bumi?” Beliau s.a.w. menjawab: “Empat puluh hari, yang sehari – hari pertama – itu lamanya sama dengan setahun, yang sehari lagi – hari kedua – lamanya seperti sebulan, yang sehari sesudah itu -hari ketiga – seperti sejum’at – yakni seminggu, sedang hari-hari yang selain tiga hari itu adalah sebagaimana keadaan hari-hari pada masamu sekarang ini.” Kita bertanya lagi: “Ya Rasulullah, dalam sehari yang panjang waktunya sebagaimana setahun itu, apakah kita cukup mengerjakan seperti shalat sehari saja – yakni lima waktu?” Beliau s.a.w. menjawab: “Tidak cukup, maka itu perkirakanlah menurut kadar jaraknya masing-nasing.” Jadi tetap lima kali dalam perkiraan sehari seperti sekarang.
Kita bertanya pula: “Ya Rasulullah, bagaimanakah kecepatannya dalam menjelajah bumi?” Beliau s.a.w. bersabda: “Iaitu bagaikan hujan yang didorong oleh angin dari arah belakangnya. Dajjal itu datang kepada sesuatu kaum, lalu ia mengajak mereka, kemudian mereka itu beriman padanya dan mengikuti apa yang dikehendaki olehnya. la menyuruh langit supaya menurunkan hujan, lalu turunlah hujan, ia menyuruh bumi supaya menumbuhkan tanaman, lalu tumbuhlah tanamannya. Se-lanjutnya kembalilah ternak-ternak mereka tergembala di situ dalam keadaan bergumbul – atau berpunuk – sepanjang – atau sebesar yang pernah ada, juga mempunyai tetek sekenyang yang pernah ada – yakni penuh air susu – dan terpanjang pantatnya – sebab semuanya kenyang.
Seterusnya datanglah Dajjal itu pada sesuatu kaum, lalu mereka ini diajaknya mengikuti kehendaknya, tetapi mereka menolak, kemudian kembalilah Dajjal itu meninggalkan mereka. Kaum yang menolak ini – kerana ketetapan keimanannya -pada keesokan harinya telah menjadi kering daerahnya – seolah-olah telah lama tidak kehujanan dan kosong sama sekali dari rumput dan tanaman Iain-Iain, juga tidak lagi mereka memiliki harta benda sedikitpun. Dajjal itu lalu berjalan melalui puing-puing – bekas istana yang rosak-rosak, kemudian ia berkata: “Keluarkanlah harta-harta simpananmu,” tiba-tiba harta-harta di situ dapat diambil dan mengikuti perjalanan Dajjal itu sebagaimana lebah-lebah mengikuti rajanya. Setelah itu Dajjal memanggil seorang pemuda yang penuh jiwa kepemudaannya – menurut riwayat yang dimaksudkan ialah Al-Hidhr, lalu ia memukul pemuda ini dengan pedang, sehingga terpotonglah tubuhnya menjadi dua bahagian dengan kecepatan bagaikan lemparan anak panah pada sasarannya. Tetapi Dajjal lalu memanggil pemuda yang sudah mati itu, lalu ia hidup kembali dan menghadapnya, sedang wajahnya berseri-seri sambil tertawa.
Dalam keadaan sebagaimana di atas itu, tiba-tiba Allah Ta’ala mengutus Isa al-Masih putera Maryam. la turun di menara – atau rumah tinggi – putih warnanya, yang terletak di sebelah selatan Damsyik, iaitu mengenakan dua lembar pakaian yang bersumba, dengan meletakkan kedua tapak tangannya atas sayap dua malaikat. Jikalau ia menundukkan kepalanya, maka mencucurlah air dari kepalanya itu, sedang apabila ia mengangkatnya, maka berjatuhan-lah daripadanya permata-permata besar bagaikan mutiara. Maka tiada seorang kafirpun yang berdiam di sesuatu tempat yang dapat mencium bau tubuhnya itu, melainkan ia pasti mati dan jiwanya itu terhenti sejauh terhentinya pandangan matanya. Selanjutnya al-Masih mencari Dajjal itu sehingga dapat menemukannya di pintu gerbang negeri Luddin, kemudian ia membunuhnya.
Seterusnya Isa a.s. mendatangi kaum yang telah dilindungi oleh Allah dari kejahatan Dajjal itu, lalu ia mengusap wajah-wajah mereka – maksudnya melapangkan kesukaran-kesukaran yang mereka alami selama kekuasaan Dajjal tersebut – dan ia memberitahukan kepada mereka bahawa mereka akan memperolehi darjat yang tinggi dalam syurga. Dalam keadaan yang sedemikian itu lalu Allah memberikan wahyu kepada Isa a.s. bahawasanya Aku – Allah – telah mengeluarkan beberapa orang hambaKu yang tiada kekuasaan bagi siapapun untuk menentang serta berlawanan perang dengan mereka itu. Maka itu kumpulkanlah hamba-hambaKu – yang menjadi kaum mu’minin – itu ke gunung Thur. Orang-orang yang dikeluarkan oleh Allah itu ialah bangsa Ya’juj dan Ma’juj. Mereka itu mengalir secara cepat sekali dari setiap tempat yang tinggi. Kemudian berjalanlah barisan pertama dari mereka itu di danau Thabariyah, lalu minum airnya, selanjutnya berjalanlah barisan terakhir dari mereka lalu mereka ini berkata: “Danau ini tentunya tadi masih ada airnya – dan kini sudah habis.”
Nabiullah Isa a.s. serta sekalian sahabat-sahabatnya dikurung -yakni dikepung dari segala jurusan sehingga tidak dapat keluar, sampai-sampai nilai sebuah kepala lembu bagi seseorang di antara mereka itu adalah lebih berharga dari seratus wang dinar emas bagi seseorang di antara engkau semua pada hari ini. Nabiullah Isa a.s. dan sahabat-sahabatnya radhiallahu ‘annum semuanya merendahkan diri kepada Allah Ta’ala memohonkan agar kesukaran itu segera dilenyapkan. Allah Ta’ala lalu menurunkan ulat atas bangsa Ya’juj dan Ma’juj tadi di leher-leher mereka, kemudian menjadilah mereka itu sebagai korban yang mati seluruhnya dalam waktu sekaligus, seperti kematian seseorang manusia.
Nabiullah Isa a.s. serta sahabat-sahabatnya radhiallahu ‘annum lalu turun ke bumi. Mereka tidak menemukan sejengkal tanah pun di bumi itu melainkan terpenuhi oleh bau busuk dan bau bacin mayat-mayat bangsa-bangsa Ya’juj dan Ma’juj tadi. Selanjutnya Nabiullah Isa a.s. dan sahabat-sahabatnya radhiallahu ‘annum sama merendahkan diri lagi kepada Allah Ta’ala sambil memohonkan agar mayat-mayat mereka dilenyapkan. Allah Ta’ala menurunkan burung sebesar batang-batang leher unta dan burung inilah yang membawa mereka lalu meletakkan mereka itu di sesuatu tempat yang telah dikehendaki oleh Allah. Seterusnya Allah ‘Azza-wajalla lalu menurunkan hujan yang tidak tertutup daripadanya tempat yang bertanah keras atau pun yang lunak – yakni semuanya pasti terkena siraman hujan itu, kemudian hujan itu membasuh merata di bumi sehingga menyebabkan bumi itu bersih bagaikan kaca.
Kepada bumi itu lalu dikatakan: “Tumbuhkanlah buah-buahanmu dan luapkanlah keberkahanmu.” Maka pada saat itu sekelompok manusia cukup makan dari
sebiji buah delima saja -kerana amat besarnya. Mereka pun dapat bernaung di bawah kulit tempurung delima tadi dan dikurniakanlah keberkahan dalam air susu, sehingga sesungguhnya seekor unta yang mengandung air susu nescayalah dapat mencukupi segolongan besar dari para manusia, seekor lembu yang mengandungi air susu dapat mencukupi sekabilah manusia, sedang seekor kambing yang mengandung susu dapat mencukupi sedesa manusia. Seterusnya di waktu mereka dalam keadaan yang sedemikian itu, tiba-tiba Allah Ta’ala mengirimkan angin yang sejuk nyaman, lalu angin itu mengambil nyawa kaum mu’minin itu dari bawah ketiaknya. Jadi angin itulah yang mencabut jiwa setiap orang mu’min dan setiap orang Muslim. Kini yang tertinggal adalah golongan manusia yang jahat-jahat yang saling bercampur-baur – antara lelaki dan perempuan – sebagaimana bercampur-baurnya sekelompok keledai. Maka di atas mereka inilah menjelang tibanya hari kiamat.” (Riwayat Muslim)
Sabdanya: Khallatan bainas syami wal ‘iraqi, ertinya jalanan yang terletak antara kedua negeri itu. Sabdanya: ‘Aatsa dengan ‘ain muhmalah dan tsa’ bertitik tiga dan juga Al’aitsu ialah sangatnya kerosakan. Adzdzura, punggung-punggung unta – yakni gumbul. Alya’asib ialah lebah-lebah lelaki. Jazlataini ertinya dua potong dan Algharadh ialah sasaran yang kepadanya dilemparkanlah anak panah, yakni ia melemparkannya sebagai lemparannya anak panah kepada sasaran. Almahrudah dengan dal muhmalah atau mu’jamah, iaitu pakaian yang disumba. Sabdanya: La yadani iaitu tidak mempunyai kedua tangan yakni tidak mempunyai kekuatan atau kekuasaan. Annaghafu ialah ulat. Farsa jamaknya faris iaitu orang yang terbunuh. Azzalaqatu dengan fathahnya zai, lam dan qaf dan ada yang mengatakan Azzulfatu, dengan dhammahnya zai, sukunnya /am dan dengan fa’ ialah kaca atau cermin. Al’ishabah yakni jama’ah. Arrislu ertinya air susu. Allaqhatu ertinya binatang yang me-ngandung air susu. Alfi-aam dengan kasrahnya fa’ dan sesudah itu ada hamzah iaitu segolongan manusia dan Alfakhdzu ialah yang di bawah kabilah dari para manusia.
1806. Dari Rib’iy bin Hirasy, katanya: “Saya berangkat dengan Abu Mas’ud al-Anshari ke tempat Hudzaifah al-Yaman radhiallahu ‘anhum, lalu Abu Mas’ud berkata kepadanya: “Beritahukanlah kepadaku apa yang pernah engkau dengar dari Rasulullah s.a.w. perihal Dajjal.” Hudzaifah lalu berkata: “Nabi s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya Dajjal itu keluar dan sesungguhnya beserta Dajjal itu ada air dan api. Ada pun yang dilihat oleh para manusia sebagai air, maka sebenarnya itu adalah api yang membakar, sedang apa yang dilihat oleh para manusia sebagai api, maka sebenarnya itu adalah air yang dingin dan tawar. Maka barangsiapa yang menemui Dajjal di antara engkau semua, hendaklah masuk dalam benda yang dilihatnya sebagai api, kerana sesungguhnya ini adalah air tawar dan nyaman sekali.” Setelah itu Abu Mas’ud berkata: “Saya pun benar-benar pernah mendengar yang seperti itu.” (Muttafaq ‘alaih)
1807. Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiallahu ‘anhuma, katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Dajjal itu akan keluar kepada ummatku kemudian menetap sealam empat puluh lamanya; tetapi saya tidak mengerti apakah itu empat puluh hari atau empat puluh bulan atau empat puluh tahun. Kemudian Allah mengutus Isa putera Maryam a.s. lalu ia mencari Dajjal kemudian merosakkannya – yakni membunuhnya. Kemudian para manusia itu menetap selama tujuh tahun di saat itu tidak ada permusuhan sama sekali antara dua orang manusia pun. Selanjutnya Allah ‘Azza wa jalla mengutus angin yang dingin dari arah Syam (Palestina).
Maka tidak ada seorang pun yang menetap di atas permukaan bumi yang dalam hati orang itu ada timbangan seberat semut kecil dari kebaikan atau keimanan, melainkan pasti akan dicabut nyawanya sehingga andai kata salah seorang dari engkau semua ada yang masuk di dalam perut gunung, juga pasti akan dimasuki oleh angin tadi, sampai dapat tercabut nyawanya. Akhirnya yang ketinggalan adalah manusia-manusia yang buruk kelakuannya yang suka cepat-cepat melakukan keburukan dan kezaliman sampai dapat diumpamakan sebagai keringanan burung yang sedang terbang atau angan-angan binatang buas yang hendak memangsa. Orang-orang tersebut tidak mengerti apa-apa yang baik dan tidak mengingkari apa-apa yang buruk – yakni kemungkaran dibiarkan belaka. Seterusnya lalu muncullah syaitan yang menjelma sebagai manusia lalu berkata: “Alangkah baiknya kalau engkau semua suka mengikuti perintahku?” Orang-orang sama berkata: “Apakah yang engkau perintahkan kepada kita?” Kemudian syaitan tersebut mengajak mereka menyembah berhala-berhala.
Keadaan para manusia di saat itu adalah sangat luas rezekinya, senang hidupnya. Selanjutnya ditiupkanlah dalam sangkakala, maka tiada seorang pun yang mendengarnya melainkan ia menurunkan leher-nya yang sebelah dan mengangkat yang sebelah lainnya. Pertama-tama orang yang mendengarnya itu ialah seseorang yang sedang memperbaiki pelur kolam untanya, lalu ia tidak sedarkan diri dan semua manusia di sekitarnya pun tidak sedarkan diri – terus mati. Kemudian Allah mengirimkan atau sabdanya: Menurunkan hujan bagaikan rintik-rintik atau bagaikan bayangan, lalu dari air itu tumbuhlah seluruh tubuh para manusia, terus ditiupkanlah pula sekali lagi sangkakala tersebut tiba-tiba orang-orang itu sama berdiri bangun sambil memperhatikan keadaan di waktu itu, kemudian ada yang mengucapkan: “Hai sekalian manusia, marilah sama mendekat di hadapan Tuhanmu semua,” dan kepada semua malaikat di-perintahkan: “Hentikan dulu orang-orang itu, sebab sesungguhnya mereka akan ditanya lebih dulu.” Kemudian dikatakan pula: “Keluarkan olehmu semua orang-orang itu perlu dikirim ke neraka.”
Selanjutnya ditanyakan: “Dari berapa?” Lalu dijawab: “Dari setiap-tiap seribu sebanyak sembilan ratus sembilan puluh sembilan orang.” Sabdanya: “Itulah hari yang dapat membuat anak-anak kecil menjadi beruban dan itulah hari dibukanya betis manusia, kerana amat kebingungan sekali.” (Riwayat Muslim) Alliitu ialah batang leher, ertinya ialah merendahkan lehernya yang sebelah dan mengangkat sebelah yang lainnya.
1808. Dari Anas r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tiada suatu negeri pun melainkan akan diinjak oleh Dajjal, kecuali hanya Makkah dan Madinah yang tidak. Tiada suatu lorong-pun dari lorong-lorong Makkah dan Madinah itu, melainkan di situ ada para malaikat yang berbaris rapat untuk melindunginya. Kemudian Dajjal itu turunlah di suatu tanah yang berpasir – di luar Madinah – lalu kota Madinah bergoncanglah sebanyak tiga goncangan dan dari goncangan-goncangan itu Allah akan mengeluarkan akan setiap orang kafir dan munafik.” (Riwayat Muslim)
1809 Dari Anas r.a. pula bahawasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Yang mengikuti Dajjal dari golongan kaum Yahudi Ashbihan itu ada sebanyak tujuh puluh ribu orang. Mereka itu mengenakan pakaian kependetaan.” (Riwayat Muslim)
1810. Dari Ummu Syarik radhiallahu ‘anha bahawasanya ia mendengar Nabi s.a.w. bersabda: “Nescayalah sekalian manusia itu sama melarikan diri dari gangguan Dajjal iaitu ke gunung-gunung.” (Riwayat Muslim)
1811. Dari Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhuma, katanya: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tiada suatu peristiwa pun antara jarak waktu semenjak Allah menciptakan Adam sampai datangnya hari kiamat nanti, yang lebih besar daripada perkara Dajjal.” (Riwayat Muslim)
1812. Dari Abu Said al-Khudri r.a. dari Nabi s.a.w. sabdanya: “Dajjal keluar lalu ada seseorang dari golongan kaum mu’minin, ia ditemui oleh beberapa orang penyelidik yakni para penyelidik dari Dajjal. Mereka berkata kepada orang itu: “Ke mana engkau bersengaja pergi?” la menjawab: “Saya sengaja akan pergi ke tempat orang yang keluar – yakni yang baru muncul dan yang dimaksudkan ialah Dajjal.” Mereka berkata: “Adakah engkau tidak beriman dengan Tuhan kita.” la menjawab: “Tuhan kita tidak samar-samar lagi sifat-sifat keagungannya – sedangkan Dajjal itu tampaknya saja menunjukkan kedustaannya.” Orang-orang itu sama berkata: “Bunuhlah ia.” Sebahagian orang berkata kepada yang lainnya: “Bukankah engkau semua telah dilarang oleh Tuhanmu kalau membunuh seseorang tanpa memperoleh per
setujuannya.” Mereka pun pergilah dengan membawa orang itu ke Dajjal.
Setelah Dajjal dilihat oleh orang mu’min itu, lalu orang mu’min tadi berkata: “Hai sekalian manusia, sesungguhnya inilah Dajjal yang disebut-sebutkan oleh Rasulullah s.a.w. Dajjal memerintah pengikut-pengikutnya menangkap orang mu’min itu lalu ia ditelentangkan pada perutnya. Dajjal berkata: “Ambillah ia lalu lukailah – kepala dan mukanya.” Seterusnya ia diberi pukulan bertubi-tubi pada punggung serta perutnya. Dajjal berkata: “Adakah engkau tidak suka beriman kepadaku?” Orang mu’min itu berkata: “Engkau adalah al-Masih maha pendusta.” la diperintah menghadap kemudian digergajilah ia dengan gergaji dari pertengahan tubuhnya, iaitu antara kedua kakinya – maksudnya dibelah dua. Dajjal lalu berjalan antara dua potongan tubuh itu, kemudian berkata: “Berdirilah.” Orang mu’min tadi terus berdiri lurus-lurus, kemudian Dajjal berkata padanya. “Adakah engkau tidak suka beriman kepadaku.” la berkata: “Saya tidak bertambah melainkan kewas-padaan dalam menilai siapa sebenarnya engkau itu.” Selanjutnya orang mu’min itu berkata: “Hai sekalian manusia, janganlah ia sampai dapat berbuat sedemikian tadi kepada seseorang pun dari para manusia, setelah saya sendiri mengalaminya.” la diambil lagi oleh Dajjal untuk disembelih. Kemudian Allah membuat tabir tembaga yang terletak antara leher sampai ke tengkuknya, maka tidak ada jalan bagi Dajjal untuk dapat membunuhnya. Seterusnya Dajjal lalu mengambil orang tadi, iaitu kedua tangan serta kedua kakinya, lalu melemparkannya. Orang-orang sama mengira bahawa hanyasanya orang itu dilemparkan olehnya ke neraka, tetapi se-benarnya ia dimasukkan dalam syurga.” Setelah itu Rasulullah s.a.w. bersabda: “Orang itulah sebesar-besar para manusia dalam hal kesyahidannya – yakni kematian syahidnya – di sisi Allah yang menguasai semesta alam ini.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim. Imam Bukhari juga meriwayat-kan sebahagiannya dengan huraian yang semakna dengan di atas itu. Almasalihu iaitu para pengintai atau penyelidik.
1813. Dari al-Mughirah bin Syu’bah r.a., katanya: “Tiada seorang pun yang lebih banyak pertanyaannya mengenai hal Dajjal daripada saya sendiri. Sesungguhnya Dajjal itu tidak akan membahayakan dirimu.” Saya berkata: “Orang-orang sama berkata bahawa Dajjal itu mempunyai segunung tompokan roti dan sungai air.” Beliau s.a.w. bersabda: “Hal itu adalah lebih mudah bagi Allah daripada yang dapat dilakukan oleh Dajjal.” (Muttafaq ‘alaih)
1814. Dari Anas r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tiada seorang Nabi pun yang diutus oleh Allah, melainkan ia benar-benar memberikan peringatan kepada ummatnya tentang makhluk yang buta sebelah matanya serta maha pendusta. Ingatlah sesungguhnya Dajjal itu buta sebelah matanya dan sesungguhnya Tuhanmu ‘Azza wa jalla semua itu tidaklah buta sebelah mata seperti Dajjal. Di antara kedua matanya itu tertulislah huruf-huruf kaf, fa’, ra’ – yakni kafir.” (Muttafaq ‘alaih)
1815. Dari Buraidah r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tidakkah engkau semua suka saya beritahu perihal Dajjal,iaitu yang belum pernah diberitahukan oleh seseorang Nabi pun kepada kaumnya. Sesungguhnya Dajjal itu buta sebelah matanya dan sesungguhnya ia datang dengan sesuatu sebagai perumpamaan syurga dan neraka. Maka yang ia katakan bahawa itu adalah syurga, sebenarnya adalah neraka.” (Muttafaq ‘alaih)
1816. Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahawasanya Rasulullah s.a.w. menyebut-nyebutkan Dajjal di hadapan orang banyak, lalu berkata: “Sesungguhnya Allah itu tidak buta sebelah matanya. Ingatlah bahawa sesungguhnya al-Masih Dajjal itu buta sebelah matanya yang sebahagian kanan, seolah-olah matanya itu adalah sebuah biji anggur yang menonjol.” (Muttafaq ‘alaih)
1817. Dari Abu Hurairah r.a. bahawasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tidaklah akan terjadi hari kiamat, sehingga kaum Muslimin sama memerangi kaum Yahudi dan sehingga kaum Yahudi itu bersembunyi di balik batu dan pohon, lalu batu dan pohon itu berkata: “Hai orang Islam, inilah orang Yahudi ada di belakang saya. Ke marilah, lalu bunuhlah ia,” kecuali pohon gharqad – semacam pohon yang berduri dan tumbuh di Baitul Maqdis, kerana sesungguhnya pohon ini adalah dari pohon kaum Yahudi – dan oleh sebab itu suka melindunginya.” (Muttafaq’alaih)
1818. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Demi Zat yang jiwaku ada di dalam genggaman kekuasaanNya, dunia ini tidak akan lenyap – yakni timbul hari kiamat, sehingga seseorang lelaki berjalan melalui makam, lalu ia mundar-mandir di situ, kemudian berkata: “Aduhai diriku, alangkah baiknya kalau saya yang menempati kubur ini.” la mengharap sedemikian itu bukan kerana tertekan oleh urusan agamanya. Tidak ada lain yang menyebabkan ia berkata sedemikian tadi, kecuali kerana adanya bencana duniawiyah yang menimpa dirinya.” (Muttafaq ‘alaih)
1819. Dari Abu Hurairah r.a. pula, katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tidak akan terjadi hari kiamat, sehingga sungai Furat itu terbuka, nampak tompokan gunung emas – kerana airnya telah kering – yang diperebutkan sehingga terjadi peperangan, kemudian terbunuhlah dalam berebutan itu dari setiap seratus tentera ada sembilan puluh sembilan orang, sehingga setiap orang yang mengikuti pertempuran itu berkata: “Barangkali saja, semogalah saya yang selamat – yakni termasuk satu dari seratus tadi.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Hampir sekali sungai Furat itu terbuka lalu menampakkan simpanan gudang emasnya, maka barangsiapa yang hadhir di situ, janganlah sampai mengambil sesuatu pun dari harta itu.” (Muttafaq ‘alaih)
1820. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Orang-orang sama meninggalkan Madinah dalam sebaik-baiknya keadaan yang pernah ada dan tidak ada yang mendiami itu melainkan binatang ‘Awafi (yang dimaksudkan dengan binatang ‘Awafi yakni burung dari golongan binatang buas serta burung). Ada pun manusia yang terakhir sekali dikumpulkan ialah dua orang penggembala dari suku Mizainah yang keduanya itu hendak menuju ke Madinah. Keduanya berteriak-teriak dengan menggembala kambing. Tiba-tiba Madinah ditemukannya penuh binatang buas belaka – sebab penghuninya sudah habis sama sekali. Setelah keduanya sampai di Tsaniyyatul Wada’ lalu tersungkurlah pada mukanya.” (Muttafaq ‘alaih)
1821. Dari Abu Said al-Khudri r.a. bahawasanya Nabi s.a.w. bersabda: “Ada seorang khalifah dari beberapa khalifah yang memerintah engkau semua pada akhir zaman nanti, ia menyebar-nyebarkan harta dan sama sekali tidak menghitung-hitung berapa banyaknya.” (Riwayat Muslim)
1822. Dari Abu Musa r.a. bahawasanya Nabi s.a.w. bersabda: “Nescayalah akan datang pada sekalian manusia suatu zaman yang seseorang itu berkeliling dengan membawa harta yang akan disedekahkan berupa emas, tetapi ia tidak menemukan seseorang-pun yang suka mengambil sedekah itu daripadanya. Juga akan datanglah suatu zaman yang di situ seorang lelaki dapat dilihat oleh orang banyak, ia diikuti oleh empat puluh orang perempuan yang semua ini menggantungkan nasibnya pada lelaki tersebut. lni disebabkan kerana sedikitnya kaum lelaki dan banyaknya kaum wanita. (Riwayat Muslim)
1823. Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: “Ada seorang lelaki membeli sebidang tanah dari lelaki lain, kemudian orang yang membeli sebidang tanah tadi menemukan sebuah kendil yang di dalamnya terdapat emas dalam tanah itu. Orang yang membeli tanah itu berkata kepada penjualnya: “Ambillah emasmu, sebab hanyasanya yang saya beli daripadamu itu adalah tanahnya saja dan saya tidak merasa membeli emasnya.” Tetapi orang yang mempunyai tanah-yakni penjualnya- berkata: “Hanya-sanya yang saya jual kepadamu itu adalah tanah beserta apa yang ada di dalamnya – jadi termasuk emas itu pula.” Keduanya berselisih lalu meminta hukum kepada seseorang lain. Kemudian orang yang dimintai pertimbangan hukum ini berkata: “Apakah salah seorang dari engkau berdua ini ada yang mempunyai anak lelaki?” Seorang di antara keduanya berkata: “Saya mempunyai seorang anak lelaki. Yang seorang lagi berkata: “Saya mempunyai seorang anak perempuan.” Orang tadi lalu berkata: “Kahwinkan sajalah
anak lelaki dengan anak perempuan itu dan belanjakanlah untuk kepentingan kedua anak itu dari emas ini dan bersedekahlah engkau berdua dengan harta itu.” (Muttafaq ‘alaih)
1824. Dari Abu Hurairah r.a. bahawasanya ia mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Ada dua orang wanita yang disertai oleh anaknya masing-masing. Lalu datanglah seekor serigala, kemudian serigala ini pergi membawa anak salah seorang dari keduanya itu. Yang seorang berkata kepada kawannya: “Hanyasanya serigala tadi pergi dengan membawa anakmu,” sedang lainnya berkata: “Hanyasanya yang dibawa pergi olehnya tadi adalah anakmu.” Keduanya meminta keputusan hukum kepada Nabi Dawud a.s., lalu memutuskan untuk diberikan kepada yang tertua di antara kedua wanita tadi. Keduanya keluar untuk meminta keputusan hukum kepada Nabi Sulaiman bin Dawud a.s., lalu keduanya memberitahukan hal- ihwalnya. Sulaiman berkata: “Bawalah ke mari pisau itu, agar saya dapat membelahnya untuk dibahagikan kepada keduanya.” Tiba-tiba yang kecil – yakni yang muda – di antara kedua wanita itu berkata: “Jangan anda kerjakan itu, semoga Allah memberikan kerahmatan kepada anda. Memang itu adalah anak sahabatku ini.” Tetapi Sulaiman a.s. lalu memutuskan bahawa anak itu adalah milik yang muda.” (Muttafaq ‘alaih)
1825. Dari Mirdas al-Aslami r.a., katanya: “Nabi s.a.w. bersabda: “Orang-orang yang shalih itu pergi – yakni habis kerana meninggal dunia, seangkatan demi seangkatan dan akhirnya tertinggallah sisa-sisa yang buruk dari ummat manusia itu bagaikan hampas buah sya’ir atau seperti sisa-sisa kurma – yakni tinggal yang buruk-buruk setelah dipilih-pilih waktu memakannya. Allah tidak menghargai sedikitpun nilai mereka ini.” (Riwayat Bukhari)
1826. Dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqiy r.a., katanya: “Jibril datang kepada Nabi s.a.w., lalu berkata: “Anda masukkan golongan apakah para ahli Badar – yakni orang-orang yang mengikuti peperangan Badar – di kalangan anda sekalian – yakni kaum Muslimin?” Beliau s.a.w. bersabda: “Mereka termasuk golongan seutama-utama kaum Muslimin.” Atau semakna dengan itulah yang disabdakan oleh Nabi s.a.w. itu. Kemudian Jibril berkata: “Begitu pulalah yang menyaksikan perang Badar dari golongan malaikat.” (Riwayat Bukhari)
1827. Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, katanya: ”Rasulullah s.a.w. bersabda: “Jikalau Allah Ta’ala menurunkan siksa kepada sesuatu kaum, maka siksa itu mengenai semua orang yang termasuk dalam kalangan kaum itu, kemudian mereka dibangkitkan – diba’ats pada hari kiamat – menurut masing-masing keniatannya.” (Muttafaq ‘alaih)
1828. Dari Jabir r.a., katanya: “Ada sesuatu batang pohon kurma yang digunakan oleh Nabi s.a.w. untuk berdiri (yakni di waktu berkhutbah). Setelah mimbar sudah diletakkan – sebagai ganti batang pohon tersebut dan batang itu tidak digunakan lagi, kita semua mendengar dari arah batang tadi seperti suara unta yang sakit kerana akan mengeluarkan kandungannya, sehingga Nabi s.a.w. turun lalu meletakkan tangannya di atas batang tersebut, kemudian berdiamlah ia.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Ketika datang hari Jum’at, Nabi s.a.w. duduk di atas mimbar lalu berteriaklah batang pohon yang biasa digunakan oleh Nabi s.a.w. untuk berdiri waktu berkhutbah, sehingga hampir-hampir ia belah.” Dalam riwayat lain lagi disebutkan: “Batang pohon kurma itu lalu menjerit bagaikan jeritan anak kecil, lalu Nabi s.a.w. turun sehingga dapat memegangnya kemudian memeluknya. la merintih bagaikan rintihan anak kecil yang perlu didiamkan, sehingga akhirnya tenanglah ia.” Nabi s.a.w. lalu bersabda: la menangis kerana mendengar peringatan – dalam khutbah itu.” (Riwayat Bukhari)
1829. Dari Abu Tsa’labah al-Khusyani iaitu Jurtsum bin Nasyir r.a. dari Rasulullah s.a.w., sabdanya: “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu mewajibkan kepadamu semua akan beberapa kewajiban, maka janganlah engkau semua menyia-nyiakannya dan memberikan batas akan beberapa ketentuan batas, maka janganlah engkau semua melampauinya, juga mengharamkan beberapa hal, maka janganlah engkau semua melanggarnya dan mendiamkan – yakni tidak menyebutkan akan halal atau haramnya, beberapa hal kerana belas kasihan padamu, bukannya yang sedemikian itu kerana kelupaan, maka dari itu janganlah engkau semua mempertajam pembahasannya mengenai hal-hal itu.” Hadis hasan yang diriwayatkan oleh Imam Daraquthni dan lain-lainnya.
1830. Dari Abdullah bin Abu Aufa radhiallahu ‘anhuma, kata-nya: “Kita semua berperang bersama Rasulullah s.a.w. sebanyak tujuh kali peperangan dan kita makan belalang.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Kita semua bersama Nabi s.a.w. juga, sama makan belalang.” (Muttafaq ‘alaih)
1831. Dari Abu Hurairah r.a. bahawasanya Nabi s.a.w. bersabda: “Janganlah seseorang mu’min itu disengat dari lubang satu sampai dua kali.” Maksudnya janganlah tertipu dari satu orang sampai dua kali. (Muttafaq ‘alaih)
1832. Dari Abu Hurairah r.a. pula, katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Ada tiga macam orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat – dengan pembicaraan yang menunjukkan keredhaan, tidak pula mereka itu dilihat olehNya – dengan pandangan kerah-matan -dan mereka akan memperoleh siksa yang pedih sekali, iaitu: Seseorang yang mempunyai kelebihan air di suatu padang tandus, lalu ia menolak memberikannya itu kepada ibnus sabil -yakni orang yang sedang mengadakan perjalanan. Juga seseorang yang menjual kepada seseorang dengan sesuatu benda dagangan sesudah shalat Ashar, lalu ia bersumpah dengan menyebutkan nama Allah bahawa ia nescayalah mengambil dagangan
1833. Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: “Jarak waktu antara dua tiupan sangkakala itu adalah selama empat puluh.” Orang-orang sama bertanya kepada Abu Hurairah: “Apakah empat puluh hari?” Abu Hurairah menjawab: “Saya tidak dapat menentukan.” Mereka bertanya lagi: “Apakah empat puluh tahun?” la menjawab: “Saya tidak dapat menentukan.” Mereka sekali lagi bertanya: “Apakah empat puluh bulan?” la menjawab: “Saya tidak dapat menentukan.” Selanjutnya Nabi s.a.w. bersabda: “Semua anggota tubuh manusia itu rosak binasa, kecuali tulang punggung yang terbawah sekali – atau ‘ajbadz dzanab. Di situlah nanti tumbuhnya kejadian manusia – setelah diba’ats dari kubur. Kemudian Allah menurunkan air dari langit, lalu tumbuhlah para manusia itu bagaikan tumbuhnya sayur-mayur.” (Muttafaq ‘alaih)
1834. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: “Pada suatu ketika Nabi s.a.w. dalam sesuatu majlis, sedang memberikan pembicaraan kepada kaum – yakni orang banyak, lalu datanglah seorang A’rab -iaitu penduduk negeri Arab bahagian pedalaman, kemudian orang ini bertanya: “Bilakah tibanya hari kiamat.” Rasulullah s.a.w. terus saja dalam berbicara itu, sehingga sementara kaum ada yang berkata: “Beliau s.a.w. sebenarnya mendengar ucapan orang itu, tetapi beliau benci kepada isi pembicaraannya.” Sementara kaum lagi berkata: “Ah, beliau s.a.w. tidak mendengarnya.” Selanjutnya setelah beliau s.a.w. selesai pembicaraannya lalu bertanya: “Manakah orang yang menanyakan perihal hari kiamat tadi?” Orang itu berkata: “Ya, sayalah itu ya Rasulullah.” Beliau s.a.w. lalu bersabda: “Iaitu apabila amanat sudah disia-siakan, maka nantikan sajalah tibanya hari kiamat.” Orang itu bertanya lagi: “Bagaimanakah cara menyia-nyiakan amanat itu?” Beliau s.a.w. menjawab: “Jikalau sesuatu perkara sudah diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat itu – ada yang menafsiri: Maka nantikanlah saat kehancurannya sesuatu perkara yang diserahkan tadi.” (Riwayat Bukhari)
1835. Dari Abu Hurairah r.a. pula, bahawasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Para imam – yakni pemimpin-pemimpin – itu bersembahyang sebagai imammu semua. Maka jikalau amalan mereka itu benar, maka pahalanya adalah untukmu – dan untuk mereka pula, tetapi jikalau amalan mereka itu salah, maka pahalanya adalah untukmu semua dan dosanya atas mereka sendiri.” (Riwayat Bukhari)
1836. Dari Abu Hurairah r.a. dalam menafsiri ayat yang ertinya: “Adalah engkau semua itu sebaik-baik ummat yang dikeluarkan untuk para manusia,” ia berkata: “Sebaik-baik para manusia untuk ummat manusia ialah mereka yang datang membawa para manusia itu dalam keadaan
tertawan, dengan diikatkan rantai-rantai pada leher mereka, sehingga orang-orang yang tertawan itu dengan senang hati masuk dalam Agama Islam.”
1837. Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: “Allah ‘Azzawajalla merasa hairan dari sesuatu kaum yang sama masuk syurga dalam keadaan mereka itu terbelenggu dengan rantai-rantai.” Kedua Hadis di atas diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Maknanya ialah bahawa mereka itu asalnya menjadi tawanan dalam peperangan, lalu diikat, tetapi kemudian mereka masuk Agama Islam dan akhirnya masuk syurga – sebab sampai matinya tetap sebagai seorang Muslim.
1838. Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: “Yang paling dicintai oleh Allah di antara segala sesuatu yang ada dalam negeri-negeri itu ialah masjid-masjidnya, sedang yang paling dibenci di antara segala sesuatu yang ada dalam negeri itu ialah pasar-pasarnya.” (Riwayat Muslim)
1839. Dari Salman al-Farisi r.a., dari salah satu ucapannya, ia berkata: “Janganlah engkau sekali-kali menjadi orang yang paling pertama kali masuk pasar, jikalau engkau dapat, juga janganlah menjadi orang yang paling akhir keluar daripadanya, sebab sesungguhnya pasar itu adalah tempat pergulatan syaitan – maksudnya tempat keburukan seperti menipu, mengicuh, sumpah palsu dan Iain-Iain – dan di pasar itu pulalah syaitan itu menegakkan benderanya.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim sedemikian. Imam al-Barqani meriwayatkan dalam kitab shahihnya dari Salman, katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Janganlah engkau menjadi orang yang pertama kali masuk pasar dan jangan pula menjadi orang yang akhir sekali keluar dari pasar itu. Di pasar itulah syaitan bertelur dan menetaskan anaknya,” – ini adalah sebagai kiasan bahawa pasar itulah tempat berbagai kemaksiatan dilakukan.
1840. Dari Ashim al-Ahwal dari Abdullah bin Sarjis r.a., katanya: “Saya berkata kepada Rasulullah s.a.w.: “Ya Rasulullah, semoga Allah memberikan pengampunan kepada Tuan.” Beliau s.a.w. lalu bersabda: “Juga kepadamu – semoga Allah memberikan pengampunan.” Ashim berkata: “Saya berkata kepada Abdullah bin Sarjis: “Apakah Rasulullah s.a.w. memohonkan pengampunan untukmu?” la menjawab: “Ya dan juga untukmu.” Kemudian ia membacakan ayat ini – yang ertinya: “Dan mohonlah pengampunan – kepada Allah – untuk melebur dosamu dan juga untuk sekalian orang-orang mu’min, baik lelaki atau pun perempuan.” (Riwayat Muslim)
1841. Dari Abu Mas’ud al-Anshari r.a., katanya: “Nabi s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya sebahagian dari apa-apa yang ditemukan oleh para manusia dari ucapan kenubuwatan yang pertama ialah: “Jikalau engkau tidak mempunyai rasa malu – untuk mengerjakan keburukan, maka berbuatlah menurut kehendakmu.” (Riwayat Bukhari)
1842. Dari Ibnu Mas’ud r.a., katanya: “Nabi s.a.w. bersabda: “Pertama-tama persoalan yang diputuskan di antara sekalian manusia pada hari kiamat ialah dalam soal darah – yakni bunuh membunuh.” (Muttafaq ‘alaih)
1843. Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Malaikat itu diciptakan dari nur – yakni cahaya – dan jin diciptakan dari api yang menyala-nyala, sedang Adam diciptakan dari apa yang sudah diterangkan kepadamu semua – yakni dari tanah.” (Riwayat Muslim)
1844. Dari Aisyah radhiallahu ‘anha pula, katanya: “Budi pekerti Nabi s.a.w. itu adalah sesuai dengan ajaran al-Quran.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam serangkaian Hadis yang panjang.
1845. Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barangsiapa yang ingin bertemu Allah, maka Allah juga ingin bertemu dengannya dan barangsiapa yang tidak senang untuk bertemu dengan Allah, maka Allah juga tidak senang untuk bertemu dengannya.” Saya lalu berkata: “Ya Rasulullah, apakah ertinya tidak senang untuk bertemu dengan Allah itu ialah benci kepada kematian. Kalau begitu kita semua pun benci akan kematian itu?” Beliau s.a.w. lalu bersabda: “Bukan demikian yang dimaksudkan. Tetapi seseorang mu’min itu apabila diberi kegembiraan dengan kerahmatan Allah serta keredhaanNya, juga syurgaNya, maka ia ingin sekali bertemu dengan Allah, maka itu Allah juga ingin bertemu dengannya, sedang sesungguhnya orang kafir itu apabila diberi ancaman perihal siksa-nya Allah dan kemurkaanNya, maka ia tidak senang untuk bertemu dengan Allah itu dan oleh sebab itu Allah juga tidak senang untuk bertemu dengannya.” (Riwayat Muslim)
1846. Dari Ummul mu’minin Shafiyah binti Huyay radhiallahu ‘anha, katanya: “Nabi s.a.w. pada suatu saat beri’tikaf, lalu saya datang untuk menengoknya di waktu malam, lalu saya berbicara dengannya, kemudian saya berdiri untuk kembali ke rumah. Tiba- tiba beliau s.a.w. juga berdiri beserta saya untuk menghantarkan saya pulang. Selanjutnya ada dua orang lelaki dari kaum Anshar radhiallahu ‘anhuma berjalan melalui tempat itu. Setelah keduanya melihat Nabi s.a.w. lalu keduanya pun bercepat-cepat menyingkir. Nabi s.a.w. lalu bersabda: “Perlahan-lahanlah berjalan, hai saudara berdua. Ini adalah Shafiyah binti Huyay.” Keduanya lalu berkata:”Subhanallah, ya Rasulullah.” Beliau s.a.w. lalu bersabda: “Sesungguhnya syaitan itu berjalan dalam tubuh anak Adam – yakni manusia – sebagaimana aliran darah. Sesungguhnya saya takut kalau-kalau dalam hatimu berdua itu timbul sesuatu yang jahat atau mengatakan sesuatu yang tidak baik.” (Muttafaq ‘alaih)
1847. Dari Abul Fadhl yaitu al-Abbas bin Abdul Muththalib r.a., katanya: “Saya menyaksikan pada hari peperangan Hunain bersama Rasulullah s.a.w. Saya dan Abu Sufyan bin al-Harits bin Abdul Muththalib senantiasa tetap mengawani Rasulullah s.a.w. itu. Jadi kita tidak pernah berpisah dengannya. Rasulullah s.a.w. menaiki seekor baghal – sebangsa keldai, miliknya sendiri yang putih warnanya. Setelah kaum Muslimin dan kaum musyrikin bertemu, lalu kaum Muslimin sama menyingkir ke belakang mengundurkan diri. Mulailah Rasulullah s.a.w. melarikan baghalnya menuju ke muka orang-orang kafir, sedang saya memegang kendali baghalnya, RasuluIlah s.a.w., yang saya tahan-tahanlah kendalinya itu agar tidak terlampau cepat larinya. Abu Sufyan memegang sanggurdi Rasulullah s.a.w.
Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: “Hai Abbas, panggillah orang-orang yang mengikut Bai’atur Ridhwan di Samurah dulu.” Al-Abbas berkata dan ia adalah seorang lelaki yang keras sekali suaranya: “Saya berseru dengan sekeras-keras suara saya: “Mana orang-orang yang ikut berbai’at di Samurah dulu.” Maka demi Allah, seolah-olah penerimaan mereka ketika mendengar suara saya itu adalah bagaikan lembu yang menerima dengan senang hati akan anak-anaknya. Mereka berkata: “Ya labbaik, ya labbaik – ertinya: Kita akan datang.” Seterusnya mereka itu lalu berperang berhadap-hadapan dengan orang-orang kafir. Ada pun undangan yang disampaikan kepada kaum Anshar ialah mereka berkata: “Hai seluruh kaum Anshar, hai seluruh kaum Anshar.” Seterusnya terbataslah undangan itu kepada keluarga al-Harits bin al-Khazraj. Rasulullah s.a.w. yang di waktu itu sedang menaiki baghalnya melihat kepada jalannya peperangan itu sebagai seorang yang merasa terlampau lama saatnya pertempuran tadi. Kemudian beliau s.a.w. bersabda: “Inilah saatnya berkecamuknya peperangan yang sedahsyat-dahsyatnya.” Seterusnya Rasulullah s.a.w. lalu mengambil beberapa batu kerikil kemudian melemparkannya pada muka-muka kaum kafirin itu, terus berkata: “Hancur leburlah mereka semua demi Tuhannya Muhammad.” Saya mulai memperhatikan suasana-nya tiba-tiba peperangan itu berlangsung terus sebagaimana keadaannya yang saya saksikan itu. Tetapi demi Allah, tiada lain hanyalah lemparan Rasulullah s.a.w. dengan kerikil-kerikil itu – yang menyebabkan suasana berubah sama sekali. Akhirnya sedikit demi sedikit, tidak henti-hentinya saya melihat bahawa kekuatan mereka menjadi lemah dan perkara mereka pun membelakang – yakni bahawa mereka kalah dalam keadaan yang hina-dina.” (Riwayat Muslim)
Alwathis, arti asalnya ialah dapur api. Maknanya ialah bahawa peperangan itu berkecamuk dengan dahsyat sekali. Ucapannya: haddahum, dengan ha’ muhmalah, ertinya ialah kekuatan mereka.
1848. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Hai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu adalah Maha Baik, ma
ka Allah tidak menerima kecuali yang baik-baik saja. Sesungguhnya Allah menyuruh kaum mu’minin sebagaimana yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman: “Hai sekalian para Rasul, makanlah engkau semua dari apa-apa yang baik – yakni halal bendanya dan halal pula cara mengusahakannya serta beramal shalihlah engkau semua.” (al-Mu’minun: 51).
Allah Ta’ala juga berfirman: “Hai sekalian orang yang beriman, makanlah engkau semua akan yang baik-baik – yakni halal bendanya dan halal pula cara mengusahakannya – dari apa-apa yang Kami rezekikan kepadamu semua.” Selanjutnya Rasulullah s.a.w. menyebutkan seseorang lelaki yang lama sekali menempuh perjalanan, keadaannya kusut masai, penuh debu. la mengangkatkan kedua tangannya ke langit sambil memohon: “Ya Tuhanku, ya Tuhanku,” tetapi yang dimakannya haram, yang diminumnya haram, juga dulunya diberi makanan yang haram – oleh kedua orang tuanya, maka bagaimanakah orang sedemikian itu dapat dikabulkan doanya.” (Riwayat Muslim
1849. Dari Abu Hurairah r.a. pula, katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Ada tiga macam orang yang tidak diajak berbicara oleh Allah -dengan pembicaraan yang menunjukkan keredhaan, tidak pula disucikan – yakni diampuni dosanya – serta tidak dilihat olehNya -dengan pandangan kerahmatan – besok pada hari kiamat dan mereka akan memperoleh siksa yang pedih sekali, iaitu orang tua yang berzina, raja – atau kepala negara – yang pendusta serta orang miskin yang berlagak sombong.” (Riwayat Muslim) Al’ail iaitu orang fakir.
1850. Dari Abu Hurairah r.a. pula, katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Saihan, Jaihan, Furat dan Nil, semuanya itu adalah nama-nama sungai di syurga.” (Riwayat Muslim)
1851. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. mengambil tangan saya, lalu bersabda: “Allah menciptakan tanah – yakni bumi – itu pada hari Sabtu, di situ Allah menciptakan gunung-gunung pada hari Ahad, menciptakan pohon-pohon pada hari Isnin, menciptakan apa-apa yang tidak disenangi – seperti fitnah dan Iain-Iain – pada hari Selasa, mencipta-kan cahaya pada hari Rabu dan Allah menyebarkan binatang-binatang di bumi itu pada hari Khamis. Allah menciptakan Adam a.s. sesudah Ashar pada hari Jum’at, iaitu pada akhir penciptaanNya pada semua makhluk, pada akhir saat dari waktu siang yakni antara waktu Ashar sampai malam.” (Riwayat Muslim)
1852. Dari Abu Sulaiman yaitu Khalid bin al-Walid r.a., katanya: “Sungguh-sungguh telah putuslah di tanganku pada hari peperangan Mu’tah sebanyak sembilan buah pedang, maka yang masih tertinggal di tanganku tidak ada lain kecuali pedang bentuk buatan Yamani.” (Riwayat Bukhari)
1853. Dari ‘Amr bin al-‘Ash r.a. bahawasanya ia mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Apabila seseorang hakim memberikan hukum – yakni keputusan – lalu ia berijtihad, kemudian benar – sesuai dengan kehendak agama Allah, maka ia memperolehi dua pahala, sedang apabila ia memberikan hukum dan berijtihad lalu salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (Muttafaq ‘alaih)
1854. Dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahawasanya Nabi s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya penyakit panas itu berasal dari sebaran wap neraka Jahannam, maka dari itu dinginkanlah ia dengan menggunakan air.” (Muttafaq ‘alaih)
1855. Dari Aisyah radhiallahu ‘anha dari Nabi s.a.w., katanya: “Barangsiapa yang meninggal dunia dan ia mempunyai tanggungan hutang puasa, maka bolehlah walinya berpuasa untuk menutupi hutangnya itu.” (Muttafaq ‘alaih)
Menurut pendapat yang terpilih ialah bolehnya berpuasa untuk melunasi hutang puasa yang meninggal dunia kerana berdasarkan Hadis ini. Ada pun yang dimaksud dengan perkataan wali – yang boleh memusakainya itu – ialah keluarga yang berkedudukan sebagai ahli waris dari orang yang meninggal dunia tadi, atau pun yang bukan ahli warisnya.
1856. Dari Auf bin Malik bin at-Thufail bahawasanya Aisyah radhiallahu ‘anha diberitahu bahawasanya Abdullah bin az-Zubair radhiallahu ‘anhuma berkata dalam suatu pembelian atau suatu pemberian yang diberikan oleh Aisyah radhiallahu ‘anha: “Demi Allah, nescayalah Aisyah harus suka menghentikan ini atau kalau tidak suka, maka nescayalah saya akan meninggalkan berbicara padanya – yakni tidak menyapanya.” Aisyah berkata: “Benarkah Abdullah bin az-Zubair berkata demikian.” Orang-orang berkata: “Ya.” Aisyah lalu berkata: “Saya bernazar kerana Allah terhadap dirinya iaitu saya tidak akan berbicara dengan anak az-Zubair itu selama-lamanya.” Abdullah bin az-Zubair meminta pertolongan untuk dapat bercakap-cakap lagi dengan Aisyah itu ketika keadaan tidak saling menyapa tadi sudah berjalan lama.
Tetapi Aisyah tetap berkata: “Tidak, demi Allah, saya tidak akan menerima permintaan tolongnya itu dan saya tidak akan melanggar sumpah dalam nazar saya ini.” Ketika peristiwa itu sudah dirasa amat lama sekali bagi Abdullah bin az-Zubair, lalu ia berbicara kepada al-Miswar bin Makhramah dan Abdur Rahman bin al Aswad bin Abdu Yaghuts dan berkata kepada kedua orang itu: “Saya meminta kepada saudara berdua, supaya engkau berdua dapat memasukkan saya di tempat Aisyah radhiallahu ‘anha, sebab sesungguhnya ia tidak halal hukumnya untuk bernazar terus memutuskan hubungan kekeluargaan dengan saya.” Al Miswar dan Abdur Rahman menerima permintaannya itu, sehingga pada suatu ketika keduanya meminta izin pada Aisyah -dan Abdullah bin az-Zubair ikut serta.
Keduanya berkata: Assalamu ‘alaiki wa rahmatullahi wa barakatuh, apakah kita semua boleh masuk?” Aisyah berkata: “Masuklah semua.” Mereka berkata: “Kita semuakah boleh masuk itu?” la menjawab: “Ya, masuklah engkau semua.” Aisyah radhiallahu ‘anha tidak mengerti bahawa Abdullah bin az-Zubair menyertai kedua orang tersebut. Setelah semuanya masuk, lalu Abdullah bin az-Zubair langsung masuk ke dalam tabir -sebab Aisyah radhiallahu ‘anha ada di balik tabir kalau menemui lelaki dan Abdullah bin az-Zubair itu adalah kemanakannya sendiri yakni anak Asma’, saudarinya. Abdullah segera merangkul Aisyah -bibinya – radhiallahu ‘anha dan mulailah meminta-minta – agar dimaafkan kesalahannya – sambil menangis. Al-Miswar dan Abdur Rahman juga meminta-minta – supaya dimaafkan, kemudian suka bercakap-cakap lagi dengannya dan menerima permintaan maafnya itu.
Keduanya berkata bahawasanya Nabi s.a.w. melarang apa yang dilakukan dalam hal tidak suka menyapanya itu. Juga bahawasanya seseorang Muslim itu tidak halal untuk meninggalkan saudaranya -iaitu tidak menyapa – lebih dari tiga hari.” Setelah orang-orang itu semuanya banyak-banyak dalam memberikan peringatan dan peri-hal remehnya soal yang menyebabkan tidak menyapa tadi, lalu Aisyah radhiallahu ‘anha mulai memberitahukan kepada keduanya itu perihal nazarnya, kemudian ia menangis dan berkata: “Sesungguhnya saya telah bernazar dan nazar itu adalah berat tanggungan-nya.” Keduanya tidak henti-hentinya memberikan peringatan dan akhirnya Aisyah radhiallahu ‘anha suka berbicara lagi dengan Abdullah bin az-Zubair. Untuk menebus denda sumpah nazarnya -yang dilanggar – itu Aisyah radhiallahu ‘anha memerdekakan empat puluh orang hamba sahaya – sebenarnya yang wajib hanyalah memerdekakan seorang hamba sahaya saja, tetapi oleh sebab sangat taqwanya kepada Allah, lalu ia berbuat demikian. Aisyah selalu ingat saja akan nazarnya dulu setelah peristiwa kembali baik, kemudian menangis, sampai-sampai kerudungnya itu menjadi basah oleh air matanya.” (Riwayat Bukhari)
1857. Dari Uqbah bin Amir r.a. bahawasanya Rasulullah s.a.w. pergi keluar ke tempat orang-orang yang terbunuh dalam peperangan Uhud, lalu beliau s.a.w. mendoakan mereka setelah terkubur selama lapan tahun, sebagai seorang yang hendak mohon diri untuk orang-orang yang masih hidup dan yang telah mati. Kemudian beliau s.a.w. naik ke mimbar lalu bersabda: “Sesungguhnya saya sekarang ini di hadapan engkau semua sebagai orang yang mendahului dan saya menyaksikan atasmu semua. Sesungguhnya tempat perjanjian kita bertemu lagi ialah di Haudh – sebuah danau di syurga. Sebenarnya saya nescayalah dapat melihat Haudh itu dari tempatku ini. Tidak ada yang benar-benar saya takuti untuk menimpa engkau semua kalau engkau semua akan menjadi orang musyrik – sebab tentulah jauh dari kemusyrikan itu
, tetapi yang saya takutkan menimpa engkau semua ialah kalau engkau semua sama berlumba-lumba dalam mengejar keduniaan.” Uqbah berkata: “Itulah yang merupakan pandangan saya yang terakhir yang saya dapat melihat kepada Rasulullah s.a.w.” (Muttafaq ‘alaih)
Dalam riwayat lain disebutkan: Nabi s.a.w. bersabda: “Tetapi yang saya takutkan menimpa engkau semua ialah kalau engkau semua sama berlumba-lumba mengejar keduniaan dan engkau semua lalu saling perang memerangi, sehingga menyebabkan engkau semua rosak binasa sebagaimana rosak binasanya orang yang sebelummu semua dahulu.” Uqbah berkata: “Itulah yang terakhir sekali saya melihat Rasulullah s.a.w. berdiri di atas mimbar.” Dalam riwayat lain lagi disebutkan: Nabi s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya sayalah yang dahulu sekali meninggalkan engkau semua dan saya menyaksikan atasmu semua. Sesungguhnya saya dapat melihat pada Haudhku itu sekarang. Sesungguhnya saya juga dikurniai segala kunci per-bendaharaan bumi serta kunci-kunci kekayaan bumi. Demi Allah, tidak ada yang saya takutkan untuk menimpa engkau semua kalau engkau semua akan berlaku musyrik sepeninggalanku nanti, tetapi saya takut kalau engkau semua sama berlumba-lumba mengejar keduniaan.” Yang dimaksudkan dengan shalat kepada orang-orang yang mati dalam peperangan Uhud itu ialah berdoa, jadi bukan shalat sebagaimana yang dimaklumi itu.
1858. Dari Abu Zaid yaitu ‘Amr bin Akhthab al-Anshari r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersembahyang dengan kita semua iaitu shalat Subuh, lalu beliau naik mimbar, kemudian berkhutbah di hadapan kita, sehingga datanglah waktu Zuhur, terus turun dan bersembahyang. Selanjutnya beliau s.a.w. naik mimbar lagi terus berkhutbah sehingga datanglah waktunya shalat Asar, lalu turun dan bersembahyang. Sehabis itu beliau s.a.w. naik mimbar lagi sehingga terbenamlah matahari. Beliau s.a.w. memberitahukan kepada kita apa yang telah terjadi dan apa-apa yang bakal terjadi. Maka orang yang terpandai di antara kita – dengan ayat-ayat Allah, itu pulalah yang paling banyak hafalannya.” (Riwayat Muslim)
1859. Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, katanya: “Nabi s.a.w. bersabda: “Barangsiapa yang bernazar akan taat kepada Allah, maka wajiblah ia taat kepadaNya dan barangsiapa yang bernazar hendak bermaksiat kepada Allah, maka wajiblah ia tidak bermaksiat padaNya.” (Riwayat Bukhari)
1860. Dari Ummu Syarik radhiallahu ‘anha bahawasanya Rasulullah s.a.w. memerintahnya supaya membunuh wazagh dan beliau s.a.w. bersabda: “Wazagh itu dahulu pernah meniup-niup api pada Ibrahim – supaya lebih menyala.” (Muttafaq ‘alaih) Erti wazagh lihat Hadis no. 1861.
1861. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barangsiapa membunuh wazagh dalam pukulan pertama, maka ia memperoleh kebaikan sekian, sekian dan barangsiapa yang membunuhnya dalam pukulan kedua, maka ia memperoleh kebaikan sekian, sekian, tetapi di bawah yang pertama. Kemudian kalau ia dapat membunuhnya dalam pukulan ketiga kalinya, maka ia memperoleh kebaikan sekian, sekian.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Barangsiapa yang membunuh wazagh dalam pukulan pertama, maka dicatatlah untuknya seratus kebaikan dan dalam pukulan kedua di bawahnya itu dan dalam pukulan ketiga di bawahnya itu pula.” (Riwayat Muslim)
Ahli lughah berkata: Erti wazagh ialah sejenis toke yang besar-besar. Jadi bukan cicak yang lazim ada di rumah itu.
1862. Dari Abu Hurairah r.a., bahawasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Ada seorang lelaki berkata: “Nescayalah saya akan bersedekah dengan sesuatu sedekah.” lapun keluarlah dengan membawa sedekahnya, lalu diletakkannya di tangan seorang pencuri. Pagi-pagi orang-orang sama bercakap-cakap: “Tadi malam itu disedekahkan kepada seorang pencuri.” Orang itu lalu berkata: “Ya Allah, bagiMulah segenap puji-pujian, nescayalah saya akan bersedekah lagi dengan sesuatu sedekah.” la pun keluarlah dengan membawa sedekahnya lalu meletakkannya di tangan seorang wanita penzina -pelacur. Pagi-pagi orang-orang sama bercakap-cakap: “Tadi malam itu disedekahkan kepada seorang wanita penzina.” Orang tadi berkata: “Ya Allah, segenap puji-pujian adalah bagiMu atas seseorang wanita penzina. Tetapi nescayalah saya akan bersedekah lagi dengan sesuatu sedekah.” la pun keluarlah dengan membawa sedekahnya lalu meletakkannya di tangan seorang kaya. Pagi-pagi orang-orang bercakap-cakap lagi: “Tadi malam itu disedekahkan kepada orang kaya.” Orang itu lalu berkata: “Ya Allah, bagiMulah, segenap puji-pujian atas seorang pencuri, seorang pelacur dan seorang kaya.” Kemudian didatangkanlah suatu impian padanya dan dikatakan kepadanya: “Adapun sedekahmu kepada pencuri itu, barangkali ia akan menahan dirinya dari pencurian, ada pun yang kepada wanita pelacur, maka barangkali ia menahan diri dari perzinaannya, sedang yang kepada orang kaya, maka barangkali ia dapat mengambil cermin teladan dengan perbuatanmu itu, lalu ia suka menafkahkan sebahagian dari apa-apa yang dikurniakan oleh Allah padanya.” Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dengan lafaznya dan juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan huraian yang semakna dengan di atas itu
1863. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: “Kita semua berada bersama Rasulullah s.a.w., lalu dihidangkanlah untuk beliau s.a.w. sebuah hasta dan ini memang sangat menyukakannya. Beliau s.a.w. menggigitnya sekali gigitan kemudian bersabda: “Saya adalah penghulu sekalian manusia besok pada hari kiamat, apakah engkau semua mengerti, apakah sebabnya demikian itu?” Allah akan mengumpulkan seluruh manusia yang dahulu-dahulu dan yang belakangan di suatu tanah, kemudian dilihat oleh orang yang melihat dan dapat memperdengarkan kepada orang-orang itu orang yang mengundang. Matahari dekat sekali dengan mereka itu. Sekalian manusia mendapatkan kesusahan dan keseng-saraan,sehingga dirasakannya tidak kuat lagi menahannya dan tidak tahan lagi terhadap penderitaan itu. Para manusia itu lalu berkata: “Adakah engkau semua tidak mengetahui, hingga bagaimanakah keadaan yang sama-sama engkau semua alami ini? Apakah engkau semua tidak memikirkan kepada siapakah yang kiranya dapat memberikan syafaat untukmu semua kepada Tuhanmu?” Setengah manusia ada yang berkata kepada yang lainnya: Abukum Adam yakni ayo menuju ke bapakmu semua iaitu Nabi Adam. Para manusia lalu mendatangi Nabi Adam, kemudian berkata: “Wahai Nabi Adam, anda itu adalah bapa dari seluruh manusia.
Allah telah menciptakan bapa dengan tangan kekuasaanNya. Allah telah meniupkan dalam tubuh bapa dengan ruhNya. Allah juga memerintah kepada para malaikat untuk menghormat kepada bapa, mereka lalu bersujud – menghormat – bapa dan memberikan tempat syurga kepada bapa. Sudilah kiranya bapa memberikan syafaat untuk kita semua kepada Tuhan. Adakah bapa tidak mengetahui keadaan yang sedang kita alami ini dan hingga bagaimanakah kesengsaraan kita semua ini?” Nabi Adam lalu menjawab: “Sesungguhnya Tuhanku amat murka sekali pada hari ini, belum pernah murka sebagaimana sekarang ini sebelum hari ini dan juga tidak akan murka sebagaimana sekarang ini sesudah hari ini. Allah sudah melarang kepadaku akan suatu pohon, tetapi kulanggarlah larangan itu. Diriku, diriku, diriku sendiri – belum tentu selamat. Silakan pergi saja kepada orang selain aku. Pergilah kepada Nabi Nuh. Para manusia kemudian mendatangi Nabi Nuh, lalu berkata: “Wahai Nabi Nuh, anda adalah pertama-tama Rasul yang ada di atas permukaan bumi. Allah telah memberikan nama kepada anda dengan sebutan “Hamba yang sangat banyak bersyukurnya.” Adakah anda tidak mengetahui keadaan yang sedang kita alami ini? Adakah anda tidak mengetahui hingga bagaimana kesengsaraan kita ini? Sudilah kiranya anda memberikan pertolongan untuk kita semua dari Tuhan anda.”
Nabi Nuh lalu menjawab: “Sesungguhnya Tuhanku amat murka sekali pada hari ini, belum pernah murka sebagaimana sekarang ini sebelum hari ini dan juga tidak akan murka sebagaimana sekarang ini sesudah hari ini. Sebenarnya saja aku ini memiliki suatu doa mustajab, kemudian kupakai untuk mendoakan kerosakan bagi kaumku – yakni dengan adanya siksa berupa banjir sedunia. Diriku, diriku, diriku sendiri – belum tentu selamat. Pergilah kepada orang selain aku. Pergilah kepada Nabi Ibrahim. Pa
ra manusia lalu mendatangi Nabi Ibrahim, kemudian berkata: “Wahai Nabi Ibrahim, anda itu adalah Nabinya Allah, juga sebagai kekasihnya dari golongan penghuni bumi. Sudilah kiranya anda memberikan syafaat untuk kita semua kepada Tuhan anda. Adakah anda tidak mengetahui keadaan yang sedang kita alami sekarang ini.” Nabi Ibrahim menjawab: “Sesungguhnya Tuhanku amat murka sekali pada hari ini, belum pernah murka sebagaimana sekarang ini sebelum hari ini dan juga tidak akan murka sebagaimana sekarang ini sesudah hari ini. Sebenarnya saya ini sudah pernah berdusta sampai tiga kali banyaknya.* Diriku, diriku, diriku sendiri – belum tentu selamat.
Pergilah kepada orang selain aku, pergilah kepada Nabi Musa.” Para manusia lalu mendatangi Nabi Musa, kemudian berkata: “Wahai Nabi Musa, anda itu adalah utusan Allah. Allah telah mengurniakan keutamaan kepada anda dengan risalah dan firman-Nya melebihi orang-orang lain. Sudilah kiranya anda memberikan syafaat untuk kita semua kepada Tuhan anda. Adakah anda tidak mengetahui keadaan yang sedang kita alami ini?” Nabi Musa menjawab: “Sesungguhnya Tuhanku amat murka sekali pada hari ini, belum pernah murka sebagaimana sekarang ini sebelum hari ini dan juga tidak akan murka sebagaimana sekarang ini sesudah hari ini. Sebenarnya saya ini pernah membunuh seorang manusia yang saya tidak diperintah untuk membunuhnya.
Diriku, diriku, diriku sendiri – belum tentu selamat. Pergilah kepada orang selain aku. Pergilah kepada Nabi Isa.” Para manusia kemudian mendatangi Nabi Isa, lalu berkata: “Wahai Nabi Isa, anda itu adalah utusan Allah dan kalimatnya disampaikan kepada Maryam dan anda itu pun ruh dari Allah. Anda telah memberikan sabda kepada orang banyak ketika masih dalam buaian. Sudilah kiranya anda memberikan syafaat untuk kita semua kepada Tuhan anda. Apakah anda tidak mengetahui keadaan yang sedang kita alami ini?” Nabi Isa lalu menjawab: “Sesungguhnya Tuhanku amat murka sekali pada hari ini dan belum pernah murka sebagaimana sekarang ini sebelum hari ini dan juga tidak akan murka sebagaimana sekarang ini sesudah hari ini.” Nabi Isa tidak menyebutkan sesuatu dosa yang pernah dibuatnya. Diriku, diriku, diriku sendiri – belum tentu selamat. Pergilah engkau semua kepada orang selain aku. Pergilah kepada Nabi Muhammad. Para manusia terus pergi mendatangi Muhammad s.a.w. – di dalam riwayat lain diterangkan: Para manusia lalu mendatangi aku, kemudian berkata: “Wahai Nabi Muhammad, anda itu adalah pesuruh Allah dan penutup sekalian Nabi. Allah sungguh-sungguh telah mengurniakan pengampunan kepada dosa-dosa anda yang sudah-sudah dan yang akan datang. Sudilah kiranya anda memberikan syafaat untuk kita kepada Tuhan anda. Adakah anda belum mengetahui keadaan yang sedang kita alami sekarang ini?” Saya pun lalu berangkat sampai datang di bawah ‘arasy, selanjut-nya saya pun bersujudlah kepada Tuhanku.
Di kala itu Allah membukakan padaku dari puji-pujianNya serta keindahan penghargaan pujian terhadap hadhiratNya. Yang sedemikian ini adalah suatu keadaan yang belum pernah dibukakan oleh Allah kepada siapapun sebelum ini. Selanjutnya lalu dikatakan: “Hai Muhammad, angkatlah kepalamu. Ajukanlah permohonan dan pasti akan dikabulkan permohonanmu itu. Mintalah untuk dapat memberikan syafaat dan pasti engkau akan diberi izin untuk memberi syafaat itu.” Selanjutnya saya lalu mengangkat kepalaku, kemudian memohonkan: “Ummat hamba, ya Tuhan; ummat hamba, ya Tuhan; ummat hamba, ya Tuhan.” Setelah itu lalu diucapkan: “Hai Muhammad, masukkanlah orang-orang yang tidak diperlukan untuk dihisab lagi dari ummatmu itu dari pintu sebelah kanan. Orang-orang itu pun juga sebagai kawan-kawan para manusia yang akan masuk dari pintu selain pintu kanan.” Nabi s.a.w. meneruskan sabdanya: “Demi Zat yang jiwaku dalam tanganNya – kekuasaanNya, sesungguhnya jauh jaraknya antara dua lipatan pintu dari semua lipatan-lipatan pintu-pintu syurga itu adalah sama jauhnya dengan jarak antara Makkah dan Hajar, atau seperti jarak antara Makkah dan Bushra.” (Muttafaq ‘alaih) *
Perihal dustanya Nabiullah Ibrahim a.s. sebagaimana yang dikatakannya sendiri ada tiga kali banyaknya itu, ceriteranya adalah sebagai berikut:
1. Nabi Ibrahim a.s. pernah berkata kepada ayahnya: Inni saqim – Saya ini sakit, padahal sebenarnya tidak, tetapi ini terpaksa harus beliau a.s. katakan, kerana beliau a.s. itu diajak menyembah sesuatu yang selain Allah Ta’ala yakni berhala, bersama- sama dengan Raja Namrudz.
2.Nabi Ibrahim a.s. merosak dan memukuli berhala-berhala yang dipuja serta disembah oleh Raja Namrudz yang musyrik itu, sampai rosak binasa seluruhnya dan ditinggalkan sebuah saja, yakni yang terbesar sekali. Ketika masyarakat menjadi ramai dan memperkatakan bahawa beliau a.s. yang berbuat kerosakan itu, lalu beliau a.s. ditanya oleh Raja Namrudz, benarkah beliau a.s. yang merosak. Beliau a.s. menjawab: Bal fa’alahu kabiruhum hadza – yang membuat kerosakan ialah berhala yang besar sendiri itu, padahal sebenarnya memang beliau a.s. itulah yang mengerjakan kerosakan tadi.
3. Pada suatu hari Nabiullah Ibrahim a.s. sedang berpergian dengan isterinya yang bernama Sarah, sehingga akhirnya datanglah di suatu negeri yang rajanya itu amat suka sekali kepada golongan kaum wanita yang cantik secara berlebih-lebihan. Hampir setiap melihat wanita elok, pasti dipinang untuk dijadikan isterinya dan wanita itu pun wajib suka dan tunduk kepada kehendaknya. Demi beliau a.s. bertemu dengan raja itu, lalu ditanya, siapakah wanita yang menyertainya itu. Sudah pastilah beliau a.s. akan disiksa atau mungkin juga akan dibunuh, sekiranya mengatakan yang sebenarnya yakni bahawa Sarah itu betul-betul isterinya. Oleh sebab itu beliau a.s. berkata, demi untuk melindungi diri dan keselamatan jiwanya: Ukhti – saudariku.
Padahal sebenarnya adalah isterinya dan bukan saudarinya. Ceritera mengenai bab ini masih panjang lanjutannya, tetapi oleh sebab buku ini disusun bukan untuk maksud ini, sebaiknya diringkaskan sampai di sini saja.
1864. Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, katanya: “Ibrahim a.s. datang – di Makkah yang dulu disebut Faran -dengan membawa ibunya Ismail – yakni Hajar – serta anaknya lelaki yakni Ismail. Ibunya itu menyusui anaknya, sehingga Ibrahim a.s. menempatkan isterinya itu di dekat Baitullah, di sisi sebuah pohon besar yang ada di sebelah atas Zamzam iaitu di Masjidul Haram yang sebelah atas sendiri. Di Makkah pada saat itu belum ada seorang pun dan di situ tidak pula ada airnya. Di situlah Ibrahim a.s. menempatkan isteri dan puteranya. Di sisi kedua orang ini olehnya diletakkanlah suatu wadah – dari kulit – berisi kurma dan sebuah tempat air yang berisi air. Ibrahim a.s. lalu membelakang – yakni meninggalkan Hajar dan Ismail – terus berangkat. Ibu Ismail mengikuti suaminya, lalu berkata: “Ke manakah anda hendak pergi dan mengapa anda meninggalkan kita di lembah ini, tanpa ada seseorang pun sebagai kawan dan tidak ada sesuatu apa pun?” Hajar berkata demikian itu berulang kali, tetapi Ibrahim a.s. sama sekali tidak menoleh kepada-nya.
Kemudian Hajar berkata: “Adakah Allah yang memerintahkan anda berbuat semacam ini?” Ibrahim a.s. menjawab: “Ya.” Hajar berkata: “Kalau demikian, pastilah Allah tidak akan menyia-nyiakan nasib kita.” Ibu Ismail lalu kembali ke tempatnya semula. Ibrahim a.s. berangkatlah, sehingga sewaktu beliau itu datang di Tsaniyah – di daerah Hajun, di sesuatu tempat yang tidak dilihat oleh mereka – yakni Hajar dan anaknya, kemudian menghadap kiblat dengan wajahnya yakni ke Baitullah, terus berdoa dengan doa-doa yang tersebut di bawah ini. Beliau a.s. mengangkatkan kedua tangannya, lalu mengucapkan, sebagaimana yang tersebut dalam al-Quran, yang ertinya: “Ya Tuhanku, sesungguhnya saya menempatkan keturunanku di suatu lembah yang tiada berpohon -yakni tandus,” sampai pada: “semoga mereka itu bersyukur.” Ibu Ismail menyusui Ismail dan minum dari air yang ditinggalkan itu, sehingga setelah habislah air yang ada di tempat air dan ia pun haus, juga anaknya pun haus pula.
Ibu itu melihat anaknya bergulung-gulung di tanah, atau katanya: bergelut dengan tanah sambil memukul-mukulkan dirinya di atas tanah itu, lalu i
bunya itu ber-angkat kerana tidak tahan melihat keadaan anaknya semacam itu. Hajar melihat sekelilingnya dan nampaklah olehnya bahawa Shafa adalah sedekat-dekat gunung di bumi yang ada di samping dirinya, ia pun lalu menuju ke puncak gunung ini dan berdiri di atasnya, kemudian ia menghadap ke lembah, melihat di situ, kalau-kalau dapat melihat seseorang manusia, tetapi tidak ada. Selanjutnya ia turun dari Shafa, sehingga setelah ia sampai di lembah lagi, ia pun mengangkat gamisnya, terus berjalan lagi bagaikan jalannya seseorang yang sedang dalam kesukaran – yakni berlari-lari, sehingga lembah itu dilampauinya, kemudian mendatangi Marwah, berdiri di atas puncak Marwah ini, menengok ke lembah, kalau-kalau ada seseorang manusia yang dapat dilihat olehnya. Tetapi tidak ada, sehingga Hajar mengerjakan sedemikian itu sebanyak tujuh kali -yakni pergi bolak-balik antara Shafa dan Marwah.”
Ibnu Abbas berkata: “Nabi s.a.w. bersabda: “Oleh sebab itu para manusia – dalam mengerjakan ibadat haji meneladani kelakuan Hajar tersebut, bersa’i – yakni berlari-lari kecil – antara Shafa dan Marwah.” Keduanya ini bukan gunung yang sebenarnya, tetapi hanyalah tanah yang agak meninggi letaknya. Ibnu Abbas melanjutkan keterangannya: “Setelah ia berada di atas Marwah – yakni tujuh perjalanan yang terakhir, lalu ia mendengar suatu suara. Kemudian ia berkata: “Diamlah” yang dimaksudkan ialah kepada dirinya sendiri – yang disuruh diam untuk memperhatikan suara apa itu.
Selanjutnya didengarlah dengan penuh perhatian, lalu sekali lagi dapat di-dengarnya suara tersebut. Ia pun terus berkata: “Anda telah memperdengarkan suara kepada saya, maka segerakanlah memberikan pertolongan kepada kita, jikalau memang sengaja akan memberikan pertolongan.” Tiba-tiba di situ nampaklah oleh Hajar ada seorang malaikat di dekat tempat sumur zamzam – yang di waktu itu belum keluar airnya. Malaikat itu meneliti dengan kakinya, atau katanya: Dengan sayapnya, sehingga keluarlah airnya. Hajar mulai bekerja membuat tempat air itu bagaikan bentuk danau – yang dibulatkan – dan dengan tangannya ia mengerjakan itu sedang mulutnya mengucapkan: “Ah, beginilah yang saya harapkan.” Hajar menceduk air itu dan meletakkannya dalam tempat airnya. Air zamzam itu terus menyumber dengan derasnya setelah diceduk olehnya.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Dengan sekedar cedukan yang dilakukan oleh Hajar.” Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata: “Nabi s.a.w. bersabda: “Semoga Allah memberikan kerahmatanNya kepada ibu Ismail, andaikata ia meninggalkan zamzam itu – yakni tidak diceduk-nya, nescaya akan meluap airnya ke seluruh bumi.” Atau sabdanya: “Andaikata ibu Ismail itu tidak menciduk air zamzam tadi, nescayalah zamzam itu akan merupakan mata air yang dapat mengalir hebat – yakni dapat memenuhi seluruh permukaan bumi.” Ibnu Abbas melanjutkan: “Ibu Ismail lalu minum dan dapat lagi menyusui anaknya.” Malaikat berkata kepadanya: “Janganlah anda takut akan binasa di sini, sebab di sini nanti akan didirikanlah sebuah Rumah Allah -yakni Baitullah iaitu Ka’bah. Yang mendirikan ialah anak ini beserta ayahnya.
Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan orang-orang yang berbakti kepada Allah – yang tentu menginginkan berziarah ke Baitullah ini.” Tempat Baitullah itu meninggi di atas bumi, bagaikan tanah tinggi, yang akan didatangi oleh beberapa banjir, lalu merosak sebahagian kanan dan sebahagian kirinya. Demikianlah keadaan Hajar dengan anaknya, sehingga pada suatu ketika berlalulah di tempat mereka itu sekelompok kawanan yang sedang mengadakan perjalanan dari golongan suku Jurhum. Atau yang datang itu adalah sekeluarga dari golongan suku Jurhum yang menuju ke suatu tempat dari jalan Kada’. Mereka turun -yakni berhenti – di bahagian bawah kota Makkah. Mereka melihat ada burung sedang terbang seolah-olah mengelilingi air.
Kata mereka: “Burung ini pastilah terbang mengelilingi suatu mata air. Nescayalah tempat keamanan kita adalah di lembah ini, sebab ada air di tempat itu. Selanjutnya dikirimkanlah seseorang atau dua orang utusan yang dapat berlari cepat menuju lembah tersebut dan mereka benar-benar dapat menemukan tempat air. Utusan-utusan itu kembali terus memberitahukan kepada orang-orang Jurhum. Mereka semua datang mendekati dan di waktu itu ibu Ismail sedang ada di tempat air tersebut. Mereka berkata: “Apakah anda suka mengizinkan kita kalau berdiam saja di sisi anda di sini?” la menjawab: “Baiklah, tetapi sama sekali engkau semua tidak ada hak atas air ini.” Mereka berkata: “Baiklah.” Kedatangan orang-orang Jurhum itu berkenan sekali dalam hati ibu Ismail, kerana sebenarnya ia senang untuk berkawan.
Orang-orang Jurhum itu menyuruh semua keluarganya supaya datang di situ dan akhirnya semuanya pun berdiam di situ, bersama-sama. Di antara orang-orang Jurhum itu banyak yang ahli dalam ilmu persyairan – yakni puisi dan kesusasteraan bahasa Arab. Anak Hajar -yakni Ismail – makin hari makin besar dan belajar bahasa Arab dari mereka. Anak ini menimbulkan kegembiraan serta membuat mereka menjadi takjub setelah ia tumbuh sebagai seorang pemuda. Setelah Ismail cukup dewasa, mereka mengahwinkannya dengan seseorang wanita dari suku Jurhum itu.
Sementara itu ibu Ismail -yakni Hajar – wafatlah.” Ibnu Abbas berkata: “Nabi s.a.w. bersabda: “Ibrahim a.s. datang – di Makkah – setelah Ismail sudah kahwin. la mengamat-amati apa-apa yang terjadi dalam rumah setelah ditinggal pergi oleh Ismail, kerana Ibrahim tidak dapat berjumpa dengan anaknya itu. Ibrahim bertanya kepada isterinya, ke mana perginya, lalu dijawab: “la keluar mencari sesuatu untuk kami.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Keluar untuk berburu guna kepentingan kami.” Kemudian Ibrahim menanyakan kepada isteri-nya perihal kehidupan mereka serumahtangga dan keadaan sehari-harinya. Isterinya menjawab: “Nasib kita buruk sekali, yakni dalam keadaan serba sukar dan penuh kesengsaraan.” Wanita itu me-ngadukan halnya kepada mertuanya tadi.
Ibrahim lalu berkata: “Nanti jikalau suamimu telah datang, maka sampaikanlah ucapan salam daripadaku dan katakanlah padanya, supaya ia mengubah bandul pintunya – ini adalah kiasan daripada seseorang isteri. Setelah Ismail datang, ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengganggu fikirannya, lalu ia berkata: “Apakah ada seseorang yang tadi datang di tempat ini?” Isterinya menjawab: “Ya. Kita didatangi oleh seorang tua yang sifatnya demikian, demikian, ia pun bertanya kepada kami perihal diri anda, lalu saya beritahukan yang sebenarnya. Selanjutnya ia bertanya lagi kepada saya, bagaimanakah perihal kehidupan kita.
Saya memberitahukan padanya bahawasanya kita hidup dalam keadaan penuh kesengsaraan dan kesukaran. Ismail bertanya: “Apakah orang tua itu tidak memesankan sesuatu padamu?” Isterinya menjawab: “Ya, orang tua itu menyuruh saya supaya saya sampaikan ucapan salamnya kepada anda dan berkata -dalam pesannya: “Ubahlah bandul pintumu.” Ismail berkata: “Orang tua itu adalah ayahku dan beliau telah memerintahkan kepada saya supaya saya menceraikan engkau. Maka itu temui kembalilah keluargamu.” Ismail menceraikan isterinya itu, kemu-dian kahwin lagi dengan seorang perempuan lain.
Ibrahim tetap meninggalkan mereka itu dalam waktu yang di kehendaki oleh Allah, kemudian mendatangi mereka lagi sesudah itu, tetapi kali ini pun ia tidak menemukan anaknya. la masuk rumahnya dan ditemui oleh isterinya, lalu menanyakan kepada isterinya itu perihal Ismail, la berkata: “la sedang keluar untuk mencari rezeki guna kita semua.” Ibrahim bertanya: “Bagaimana-kah keadaan penghidupanmu semua.” la menanyakan perihal kehidupan serta keadaan sehari-hari yang mereka alami. Isterinya menjawab: “Kita semua dalam keadaan baik dan rezeki yang cukup luas.” Wanita ini pun banyak memuji kepada Allah atas segala kenikmatan yang diberikan olehNya. Ibrahim bertanya: “Apakah yang engkau semua makan.” Isterinya menjawab: “Daging.” Tanya-nya lagi: “Apakah yang engkau semua minum?” la menjawab: “air.” Ibrahim berdoa: “Ya Allah, berilah keberkahan kepada mereka ini dalam makanan dagingnya dan minuman airnya.” Seterusnya Nabi s.a.w. bersabda: “Di kalangan mereka – penduduk Makkah – di waktu itu tidak ada biji-bijian, andaikata i
ni ada, tentulah Ibrahim juga mendoakan keberkahan biji-bijian itu untuk mereka.” Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata: “Maka tidak seorang pun yang tidak mencampurkan daging dan air itu dalam makanannya untuk selain di Makkah, melainkan keduanya itu tidak akan mencocokinya.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Ibrahim datang, lalu berkata: “Manakah Ismail?” Isterinya menjawab: “la pergi untuk berburu.” Isterinya berkata: “Tidakkah bapa suka singgah dulu di sini untuk makan dan minum?” Ibrahim bertanya: “Apakah makananmu dan apakah minumanmu?” la menjawab: “Makanan kita adalah daging dan minuman kita adalah air.” Ibrahim lalu berdoa: “Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada mereka akan makanan serta minuman mereka.” Ibnu Abbas berkata: “Abul Qasim – iaitu Nabi Muhammad s.a.w. – bersabda: “Itulah dengan sebab berkah doanya Ibrahim a.s.” Ibrahim berkata: “Jikalau suamimu datang maka sampaikanlah ucapan salamku padanya dan perintahkanlah padanya supaya di-tetapkan saja bandul pintunya.” Setelah Ismail datang, ia berkata: “Apakah ada seseorang yang datang di tempatmu ini?” Isterinya menjawab: “Ya, ada seorang tua yang baik sekali keadaan pakaian-nya.” Wanita itu banyak mengeluarkan pujian pada orang tua tersebut. Selanjutnya ia berkata: “la bertanya kepadaku tentang hal-ehwal diri anda.
Kemudian saya beritahukan hal itu kepadanya. Lalu bertanya: “Bagaimanakah keadaan hidup kita, lalu saya memberitahukan bahawasanya kita dalam keadaan baik-baik saja.” Ismail bertanya: “Apakah orang tua tadi memesan sesuatu padamu?” la menjawab: “Ya, ia menyampaikan ucapan salam pada anda dan memerintahkan kepada anda supaya anda menetapkan bandul rumahnya.” Ismail berkata: “Orang tua itu adalah ayahku dan yang dimaksudkan bandul pintu adalah engkau. Jadi ia menyuruh kepada saya supaya tetap memegangmu sebagai isteri.” Ibrahim berdiam meninggalkan mereka selama waktu yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala, kemudian datang pulalah sesudah itu.
Di waktu kedatangan Ibrahim itu, Ismail sedang meraut sebuah anak panah yang sedang dibuatnya, iaitu di bawah sebuah pohon besar di dekat sumur zamzam. Setelah dilihatnya, ia pun berdirilah menyongsongnya, kemudian keduanya berbuat sebagaimana seorang ayah terhadap anaknya dan sebagai anak terhadap ayahnya. Sehabis itu Ibrahim berkata: “Hai Ismail, sesungguhnya Allah menyuruh kepadaku akan sesuatu perkara.” Ismail berkata: “Kalau begitu, lakukanlah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah kepada bapa itu!” Ibrahim berkata: “Apakah engkau akan memberikan pertolongan padaku untuk itu?” la menjawab: “Ya, saya akan menolong bapa.”
Ibrahim berkata lagi: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadaku, supaya saya mendirikan sebuah rumah -yakni bait-di sana itu.” Ibrahim menunjuk pada suatu bidang tanah yang tinggi. Di atas sekitar tanah itulah rumah itu didirikan. Pada waktu itu ia meninggikan paksi bait tersebut. Jadi Ismail yang datang dengan membawakan batunya, sedang Ibrahim yang mendirikannya. Sehingga setelah bangunan itu telah tinggi, datanglah beliau dengan membawa batu ini – yakni almaqam, lalu batu itu diletakkan. Ibrahim berdiri di atasnya dan beliau sedang mendirikan bait dan Ismail memberikan batunya, keduanya sambil mengucap-kan: Rabbana taqabbal minna innaka antas sami’ul ‘alim ertinya: Ya Allah, terimalah amalan kita ini, sesungguhnya Engkau adalah Maha Mendengar lagi Mengetahui. Dalam riwayat lain disebutkan: “Sesungguhnya Ibrahim keluar dengan membawa Ismail dan ibu Ismail – yakni Hajar.
Beserta mereka adalah sebuah tempat untuk isi air. Ibu Ismail minum dari wadah air itu lalu meluaplah air susunya untuk diberikan kepada bayinya itu, sehingga datanglah di Makkah. Ibrahim meletakkan isterinya di bawah sebuah pohon besar. Selanjutnya Ibrahim pun pulanglah kembali ke tempat keluarganya di Syam. la diikuti oleh ibu Ismail, sehingga setelah mereka sampai di tanah Kada’, isterinya memanggilnya dari belakang: “Hai Ibrahim, kepada siapakah kita ini anda serahkan, kalau anda meninggalkan kita.” Ibrahim menjawab: “Kepada Allah.” Isterinya berkata: “Kalau begitu saya redha dengan Allah, sebagai Zat yang diserahi.” la lalu kembali dan masih terus dapat minum air dari wadah air yang di bawahnya tadi dan air susunya pun tetap meluap untuk diberikan kepada bayinya.
Kemudian setelah air itu habis, ia berkata: “Andaikata saya pergi ke situ, lalu saya melihat-lihat ke sana ke mari, barangkali ada seseorang yang dapat saya temukan.” Ibnu Abbas berkata: “Hajar lalu pergi menaiki bukit Shafa, ia melihat ke sana ke mari dan terus memerhatikan, barangkali ia dapat menemukan seseorang, tetapi tidak seorang pun yang di temuinya. Setelah ia sampai di lembah dan berlari kecil serta mendatangi bukit Marwah, kemudian mengerjakan sedemikian itu pergi-balik sampai tiga kali, kemudian ia berkata: “Baiklah saya pergi menengok apa yang dilakukan oleh anak bayiku.” Ia pun pergilah, lalu dilihatnya anak itu sedang dalam keadaannya yang amat berat seolah-olah ia merintih-rintih dengan suara keras lalu perlahan.
Hatinya tidak tenang, kemudian berkata: “Sebaiknya saya pergi lagi sekali, saya akan melihat ke sana ke mari, barangkali saya menemukan seseorang.” la pergi lagi, kemudian naik bukit Shafa, terus melihat dan memperhatikan sekelilingnya, tetapi tidak seorang pun yang dijumpai olehnya, sehingga lari kecilnya antara Shafa dan Marwah itu lengkap tujuh kali pergi-balik. la berkata pula: “Cubalah saya melihat apa yang dilakukan bayi itu.” Tiba-tiba ia mendengar suatu suara, lalu ia berkata: “Tolonglah, jikalau anda mempunyai sesuatu kebaikan.” Sekonyong-konyong Jibril a.s. nampak di situ, lalu ia berbuat sesuatu dengan kakinya dan berkata: “Nah, beginilah.” Jibril a.s. memasukkan kakinya di bumi lalu memancarlah airnya. Ibu Ismail amat kehairanan menyaksikan itu, sehingga ia pun memenuhi kedua tapak tangannya dengan air dan dimasukkan dalam wadah airnya.” Selanjutnya dihuraikanlah Hadis ini selengkapnya yang panjang. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dengan riwayat-riwayat ini seluruhnya.
Addawhah ialah pohon besar. Ucapannya: qaffa ertinya meninggalkan dan membelakangi.
Aljariyyu iaitu utusan, sedang alfa ialah menemukan. Ucapannya yansyaghu, iaitu merintih dengan suara keras dan perlahan.
1865. Dari Said bin Zaid r.a., katanya: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w.: Kam-ah – tanaman sebangsa manisan – getahnya cair semacam madu,* sedang airnya dapat digunakan sebagai ubat penyakit mata.” (Muttafaq ‘alaih)
* Almannu dapat diertikan madu, iaitu sebangsa madu yang diberikan oleh Tuhan kepada kaum bani Israil, ketika mereka sedang kebingungan dalam padang pasir Tiih dulu. Tetapi dapat pula diertikan kurnia atau kenikmatan Tuhan. Jadi menurut erti kedua ini, maka makna Hadis di atas ialah: Kam-ah itu termasuk kenikmatan – yang dikurniakan oleh Allah pada para hambaNya – dan airnya dapat digunakan sebagai ubat penyakit mata.” Wallahu a’lam

Menganjurkan Untuk Menambah-nambah Kebaikan Pada Akhir-akhir Umur

Menganjurkan Untuk Menambah-nambah Kebaikan Pada Akhir-akhir Umur

Allah Ta’ala berfirman:

“Bukankah Kami telah memberikan umur yang cukup kepadamu semua. Dalam masa itu orang yang mahu mengerti dapatlah mengambil pengertian dan orang yang memberikan peringatan pun telah datang padamu semua.” (Fathir: 37)

Ibnu Abbas serta para muhaqqiq – ahli penyelidik agama -mengatakan bahawa ertinya umur cukup itu ialah: Bukankah Kami telah memberikan padamu semua umur sampai enam puluh tahun. Penegasan ini dikuatkan pula oleh Hadis yang akan kami sebutkan di belakang Insya Allah. Diterangkan pula oleh ulama-ulama yang lain bahawa maknanya itu ialah lapan belas tahun. Ada pula yang mengatakan empat puluh tahun. Keterangan ini diucapkan oleh Al-hasan, Alkalbi dan Masruq, juga dikutip dari keterangan Ibnu Abbas yang lain. Mereka itu mengutip pula bahawa para ahli Madinah, apabila seseorang dari mereka itu telah mencapai umur empat puluh tahun, maka selalulah ia menghabiskan waktunya untuk beribadat.

Ada pula yang mengatakan bahawa umur cukup itu ertinya ialah jikalau telah baligh.

Adapun firman Allah Ta’ala yang ertinya: “Telah pula datang padamu semua seorang yang bertugas memberikan peringatan.” Ibnu Abbas dan Jumhur ulama mengatakan bahawa yang dimaksud itu ialah Nabi s.a.w. Ada lagi yang menerangkan bahawa maksudnya itu ialah adanya uban. Ini diucapkan oleh ‘Ikrimah, Ibnu ‘Uyainah dan lain-lainnya.

Wallahu a’lam.

Adapun Hadis-hadisnya ialah:

112. Pertama: Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya:

“Allah tetap menerima uzur – alasan – seseorang yang diakhirkan ajalnya, sehingga ia berumur enampuluh tahun.” (Riwayat Bukhari)

Para ulama berkata bahwa maknanya itu ialah Allah tidak akan membiarkan-tidak menerima-uzur seseorang yang sudah berumur enampuluh tahun itu, sebab telah dilambatkan oleh Allah sampai masa yang setua itu.

Dikatakan: Azarar rajulu: apabila ia sangat banyak mengemukakan keuzurannya.

113. Kedua: Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, katanya: “Umar r.a. memasukkan diriku [11] dalam barisan sahabat-sahabat tua yang pernah mengikuti perang Badar. Maka sebahagian orang-orang tua itu seolah-olah ada yang merasakan tidak enak dalam jiwanya, lalu berkata: “Mengapa orang ini masuk beserta kita, sedangkan kita mempunyai anak-anak yang sebaya umurnya dengan dia?” Umar kemudian menjawab: “Sebenarnya dia itu sebagaimana yang engkau semua ketahui,” – maksudnya bahawa Ibnu Abbas itu diasuh dalam rumah kenabian dan ia adalah sumber ilmu pengetahuan dan berbagai pendapat yang tepat.”

Selanjutnya pada suatu hari Umar memanggil saya, lalu memasukkan saya bersama-sama dengan para orang tua di atas. Saya tidak mengerti bahawa Umar memanggil saya pada hari itu, melainkan hanya untuk memperlihatkan keadaan saya kepada mereka itu. Umar itu berkata: “Bagaimanakah pendapat saudara-saudara mengenai firman Allah – yang ertinya: “Jikalau telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.” Maka sebahagian para sahabat tua-tua itu berkata: “Maksudnya ialah kita diperintah supaya memuji kepada Allah serta memohonkan pengampunan daripadaNya jikalau kita diberi pertolongan serfa kemenangan.” Sebahagian mereka yang lain diam saja dan tidak mengucapkan sepatah katapun. Umar lalu berkata kepadaku: “Adakah demikian itu pula pendapatmu, hai Ibnu Abbas?” Saya lalu menjawab: “Tidak.” Umar bertanya lagi: “Jadi bagaimanakah pendapatmu?” Saya menjawab: “Itu adalah menunjukkan tentang ajal Rasulullah s.a.w., Allah telah memberi tahukan pada beliau tentang dekat tibanya ajal itu. Jadi Allah berfirman – yang ertinya: “Jikalau telah datang pertolongan dari Allah serta kemenangan,” maka yang sedemikian itu adalah sebagai tanda datangnya ajalmu. Oleh sebab itu maka memaha sucikanlah dengan mengucapkan puji-pujian kepada Tuhanmu dan mohonlah pengampunan padaNya, sesungguhnya Allah adalah Maha Penerima taubat.”

Umar r.a. lalu berkata: “Memang, saya sendiri tidak mempunyai pendapat selain daripada seperti apa yang telah engkau ucapkan itu.” (Riwayat Bukhari)

114. Ketiga: Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, katanya: “Tidaklah Rasulullah s.a.w. bersembahyang sesuatu shalat setelah turunnya ayat: Idza ja-a nashrullahi walfathu – Apabila telah tiba pertolongan dari Allah dan kemenangan, melainkan dalam shalatnya itu selalu mengucapkan: Subhanaka rabbana wa bihamdik. Allahummaghfirli – Maha Suci Engkau wahai Tuhan kami dan saya mengucapkan puji-pujian kepadaMu. Ya Allah berilah pengampunan padaku.” (Muttafaq ‘alaih)

Dalam riwayat yang tertera dalam kedua kitab shahih – yakni Bukhari dan Muslim, disebutkan dari Aisyah pula demikian:

“Rasulullah s.a.w. itu memperbanyakkan ucapannya dalam ruku’ dan sujudnya iaitu: Subhanakallahumma rabbana wa bihamdika, Allahummaghf’ir Hi – Maha Suci Engkau ya Allah Tuhan kami dan saya mengucapkan puji-pujian kepadaMu. Ya Allah, berikanlah pengampunan padaku,” beliau mengamalkan benar-benar apa-apa yang menjadi isi al-Quran.

Makna: Yata-awwalul Quran ialah mengamalkan apa-apa yang diperintahkan pada beliau itu yang tersebut dalam al-Quran, yakni dalam firman Allah Ta’ala: Fasabbih bihamdi rabbika wastaghfirhu, ertinya: Maka maha sucikanlah dengan mengucapkan puji-pujian kepada TuhanMu dan mohonlah pengampunan kepadaNya.

Dalam riwayat Muslim disebutkan:

“Rasulullah s.a.w. itu memperbanyak ucapannya sebelum wafatnya, iaitu: Subhanaka wa bihamdika, astaghfiruka wa atubu ilaik – Maha Suci Engkau dan saya mengucapkan puji-pujian kepadaMu, saya mohon pengampunan serta bertaubat kepadaMu.

Aisyah berkata: Saya berkata: “Hai Rasulullah, apakah ertinya kalimat-kalimat yang saya lihat Tuan baru mengucapkannya itu?” Beliau s.a.w. bersabda: “Itu dijadikan sebagai alamat bagiku untuk ummatku, jikalau saya telah melihat alamat tersebut. Itu saya ucapkan apabila telah datang pertolongan dari Allah dan kemenangan.” Beliau membaca surah an-Nashr itu sampai selesai.

Dalam riwayat Muslim lainnya disebutkan:

“Rasulullah s.a.w. memperbanyakkan ucapan: Subhanallah wabihamdih, astaghfirullah wa atubu ilaih – Maha Suci Allah dan saya mengucapkan puji-pujian kepadaNya, saya mohon pengampunan serta bertaubat kepadaNya.

Aisyah berkata: Saya berkata: “Ya Rasulullah, saya lihat Tuan selalu memperbanyak ucapan: Subhanallah wa bihamdih, astaghfirullah wa atubu ilaih. Rasulullah s.a.w. lalu bersabda:

“Tuhanku telah memberitahukan kepadaku bahawasanya aku akan melihat sesuatu alamat untuk ummatku. Jikalau saya melihatnya itu, maka aku memperbanyakkan ucapan Subhanallah wa bihamdih astaghfirullah wa atubu ilaih. Kini aku telah melihat alamat tersebut, iaitu jikalau telah datang pertolongan Allah dan kemenangan yakni dengan dibebaskannya kota Makkah. Dan engkau melihat para manusia masuk dalam agama Allah dengan berduyun-duyun. Maka maha sucikanlah dengan mengucapkan puji-pujian kepada Tuhanmu dan mohonlah pengampunan kepadaNya, sesungguhnya Allah adalah Maha Penerima taubat.”

116. Kelima: Dari Jabir r.a., katanya: “Nabi s.a.w. bersabda: “Dibangkitkan setiap hamba itu – dari kuburnya, menurut apa yang ia mati atasnya.” (Riwayat Muslim)

Keterangan:

Hadis ini menyerukan setiap manusia muslim lagi mu’min agar senantiasa berbuat kebaikan kepada siapapun, mengerjakan apa-apa yang diredhai Allah, menetapi sunnah-sunnahnya Rasulullah s.a.w. dalam segala waktu, tempat dan keadaan. Juga menyerukan supaya terus menerus memiliki keikhlasan hati dalam mengamalkan segala hal semata-mata untuk Allah Ta’ala jua, baik dalam ucapan ataupun perbuatan. Kepentingannya ialah agar di saat kita ditemui oleh ajal, maka kematian kita pun menetapi keadaan sebagaimana yang tersebut di atas itu, sehingga pada hari kita diba’ats atau dibangunkan dari kubur nanti, keadaan kita pun sebagaimana halnya apa yang kita tetapi sewaktu kita berada di dunia ini.

Semogalah kita memperolehi husnul-khatimah atau penghabisan yang bagu
s dan terpuji.

115. Keempat: Dari Anas r.a., katanya: “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa jalla senantiasa mengikutkan terus-sambung menyambung – dalam menurunkan wahyu kepada Rasulullah s.a.w. sebelum wafatnya sehingga beliau itu wafat, di situlah sebahagian besar wahyu diturunkan.” (Muttafaq ‘alaih)

Bersungguh-sungguh

Allah Ta’ala berfirman:

“Dan orang-orang yang berjihad dalam membela agama Kami, maka pasti akan Kami tunjukkan mereka itu akan jalan Kami dan sesungguhnya Allah itu beserta orang-orang yang berbuat kebagusan.” (al-Ankabut: 69)

Allah Ta’ala berfirman lagi:

“Dan sembahlah Tuhanmu sehingga datanglah keyakinan – kematian – itu padamu.” (al-Hijr: 99)

Lagi Allah Ta’ala berfirman:

“Dan ingatlah akan nama Tuhanmu serta beribadatlah kepada-Nya dengan sepenuh hati,” yakni hentikanlah segala pemikiran, untuk semata-mata menghadap kepadaNya.” (al-Muzzammil: 8)

Allah Ta’ala juga berfirman:

“Maka barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat timbangan debu, Dia pun pasti akan mengetahuinya.” (az-Zalzalah: 7)

Juga Allah Ta’ala berfirman:

“Dan apa saja – perbuatan baik – yang engkau sekalian berikan untuk dirimu sendiri, nanti pasti akan engkau sekalian dapati di sisi Allah, keadaannya adalah lebih baik dan lebih besar pahalanya dan mohonlah pengampunan kepada Allah, sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Penyayang.” (al-Muzzammil: 20)

Lagi firman Allah Ta’ala:

“Dan apa saja kebaikan yang engkau sekalian kerjakan, maka sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 215)

Ayat-ayat dalam bab ini banyak sekali dan dapat dimaklumi. Adapun Hadis-hadisnya ialah:

95. Pertama: Dari Abu Hurairah r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda:

“Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman – dalam Hadis qudsi : “Barangsiapa memusuhi kekasihKu, maka Aku memberitahukan padanya bahawa ia akan Ku perangi – Ku musuhi.

Dan tidaklah seseorang hambaKu itu mendekat padaKu dengan sesuatu yang amat Kucintai lebih daripada apabila ia melakukan apa-apa yang telah Kuwajibkan padanya. Dan tidaklah seseorang hambaKu itu mendekatkan padaKu dan melakukan hal-hal yang sunnah sehingga akhirnya Aku mencintainya. Maka apabila Aku telah mencintainya, Aku lah yang sebagai telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, Aku lah matanya yang ia gunakan untuk melihat, Aku lah tangannya yang ia gunakan untuk mengambil dan Aku lah kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Andaikata ia meminta sesuatu pada Ku, pastilah Ku beri dan andaikata memohonkan perlindungan padaKu, pastilah Ku lindungi.” (Riwayat Bukhari)

Makna lafaz Aadzantuhu, ertinya: “Aku (Tuhan) memberitahukan kepadanya (yakni orang yang mengganggu kekasihKu itu) bahawa Aku memerangi atau memusuhinya, sedang lafaz Ista’aadzanii, ertinya “Ia memohonkan perlindungan padaKu. Ada yang meriwayatkan dengan ba’, lalu berbunyi Ista’aadza bii dan ada yang meriwayatkan dengan nun, lalu berbunyi Ista’aadzanii.

Keterangan:

Yang perlu kita resapkan dalam Hadis ini ialah:

(a) Di atas itu, Hadis Qudsi namanya.

(b) Kekasih Allah ialah orang yang amat taqwa kepadaNya dan orang yang memusuhi kekasih Allah ini pasti akan rosak binasa sebab dimusuhi oleh Allah.

(c) Jadi bila hendak mendekat pada Allah, lebih dulu penuhilah kewajiban-kewajiban yang telah dipikulkan oleh Allah pada kita itu,

(d) Maka kalau orang itu sudah benar-benar dekat pada Allah semua pendengarannya, penglihatannya, pengambilannya dan perjalanannya selalu diberi petunjuk oleh Allah sehingga cahaya Tuhan selalu ada di kanan kirinya.

96. Kedua: Dari Anas r.a. dari Nabi s.a.w. dalam sesuatu yang diriwayatkan dari Tuhannya ‘Azzawajalla, firmanNya – ini juga Hadis Qudsi :

“Jikalau seseorang hamba itu mendekat padaKu sejengkal, maka Aku mendekat padanya sehasta dan jikalau ia mendekat padaKu sehasta, maka Aku mendekat padanya sedepa. Jikalau hamba itu mendatangi Aku dengan berjalan, maka Aku mendatanginya dengan bergegas-gegas.” (Riwayat Bukhari)

Keterangan:

Hadis yang tercantum di atas itu adalah sebagai perumpamaan belaka, baik bagi Allah atau bagi hambaNya. Jadi maksudnya ialah barangsiapa yang mengerjakan ketaatan kepada Allah sekalipun sedikit, maka Allah akan menerima serta memperlipat-gandakan pahalanya, juga pelakunya itu diberi kemuliaan olehNya selama di dunia sampai di akhirat. Makin besar dan banyak ketaatannya, makin pula besar dan bertambah-tambah pahalanya. Manakala cara melakukan ketaatan itu dengan perlahan-lahan, Allah bukannya memperlahan atau memperlambatkan pahalanya, tetapi bahkan dengan segera dinilai pahalanya itu dengan penilaian yang luar biasa tingginya.

Demikianlah tujuan dan makna yang tersirat dalam isi Hadis tersebut. Wallahu A’lam bish-shawaab.

97. Ketiga: Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda:

“Ada dua macam kenikmatan yang keduanya itu disia-siakan oleh sebahagian besar manusia iaitu kesihatan dan kelapangan waktu.” (Riwayat Bukhari)

Keterangan:

Lafaz Maghbuun dalam Hadis di atas itu, asalnya dari kata Zhaban, iaitu membeli sesuatu dengan harga yang melebihi batas dari harga yang semestinya dan berlipat-lipat dari yang seharusnya dibayarkan, jadi yang sepatutnya dibeli seratus rupiah, tiba-tiba dibeli dengan harga seribu rupiah. Juga Ghaban itu dapat bererti menjual sesuatu dengan harga yang terlampau sangat rendahnya, misalnya sesuatu itu dapat dijual dengan harga lima puluh rupiah, tetapi hanya dijual dengan harga lima rupiah saja.

Orang mukallaf yakni manusia yang sudah baligh lagi berakal oleh Rasulullah s.a.w. diumpamakan sebagai seorang pedagang. Kesihatan tubuh dan kelapangan waktu yakni waktu tidak ada pekerjaan apa-apa yang diumpamakan sebagai pokok harta atau kapital untuk berdagang itu, sedang ketaatan kepada Allah Ta’ala sebagai benda-benda yang diperdagangkan.

Namun demikian sebahagian besar ummat manusia tidak mengerti betapa pentingnya memiliki dua macam kapital dan bingung untuk memilih apa yang hendak diperdagangkan itu, padahal sudah jelas pokok kapitalnya ialah kesihatan dan kelapangan waktu dan yang semestinya dikejar untuk mendapatkan keuntungan ialah membeli dagangan yang akan dapat memberi keuntungan sebanyak-banyaknya. Bukankah ketaatan kepada Allah itu akan menguntungkan sekali, baik di dunia atau di akhirat. Bukankah itu pula yang menyebabkan akan dapat memperolehi laba yang besar sekali di sisi Allah dan yang menjurus ke arah mendapat kebahagiaan. Tetapi semua itu disia-siakan oleh sebahagian besar ummat manusia sewaktu mereka hidup di dunia ini.

Baharu orang itu mengerti besarnya kenikmatan sihat dan lapang waktu itu, apabila telah sakit dan banyak kesibukan, sehingga banyak kewajipan-kewajipan terhadap agama menjadi kucar-kacir dan terbengkalai atau sama sekali ditinggalkan. Semoga kita semua dilindungi oleh Allah dari hal-hal yang sedemikian itu.

98. Keempat: Dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahawasanya Rasulullah s.a.w. berdiri untuk beribadat dari sebahagian waktu malam sehingga pecah-pecahlah kedua tapak kakinya. Saya (Aisyah) lalu berkata padanya: “Mengapa Tuan berbuat demikian, ya Rasulullah, sedangkan Allah telah mengampuni untuk Tuan dosa-dosa Tuan yang telah lalu dan yang kemudian?”

Rasulullah s.a.w. bersabda:

“Adakah aku tidak senang untuk menjadi seorang hamba yang banyak bersyukurnya?” (Muttafaq ‘alaih)

Ini adalah menurut lafaz Bukhari dan yang seperti itu terdapat pula dalam kedua kitab shahih – Bukhari dan Muslim – dari riwayat Mughirah bin Syu’bah.

Keterangan:

Dalam mengulas apa yang dikatakan oleh Sayyidah Aisyah radhiallahu ‘anha bahawa Rasuiullah s.a.w. itu sudah diampuni semua dosanya oleh Allah, baik yang dilakukan dahulu atau belakangan, maka al-lmam Ibnu Abi Jamrah r.a. memberikan huraiannya sebagai berikut:

“Sebenarnya tiada seorang pun yang dalam hatinya terlintas suatu persangkaan bahawa dosa-dosa yang diberitahukan oleh Allah Ta’ala yang telah diampuni yakni mengenai diri Nabi s.a.w. itu adalah dosa yang kita maklumi dan yang biasa kita jalankan ini, baik yang dengan sengaja atau cara apapun. Itu sama sekali tidak, sebab Rasulullah s.a.w., juga
semua nabiullah ‘alaihimus shalatu wassalam itu adalah terpelihara dan terjaga dari semua kemaksiatan dan dengan sendirinya tidak ada dosanya sama sekali (ma’shum minadz-dzunub). Semoga kita semua dilindungi oleh Allah dari memiliki persangkaan yang jelas salahnya sebagaimana di atas.

Jadi tujuannya hanyalah sebagai mempertunjukkan kepada seluruh ummat, betapa besarnya kewajiban setiap manusia, yang di dalamnya termasuk pula Nabi Muhammad s.a.w. untuk memaha agungkan, memaha besarkan kepadaNya serta senantiasa mensyukuri kenikmatan-kenikmatanNya. Oleh sebab apa yang dilakukan oleh manusia, bagaimanapun juga besar dan tingginya nilai apa yang diamalkannya itu, masih belum memadai sekiranya dibandingkan dengan kenikmatan yang dilimpahkan oleh Nya kepada manusia tersebut. Maka dari itu hak-hak Allah yang wajib kita penuhi sebagai imbalan kurniaNya itu, masih belum sesuai dengan amalan baik yang kita lakukan, sekalipun dalam anggapan kita sudah amat banyak sekali. Jadi lemahlah kita untuk mengimbanginya dan itulah sebabnya, maka memerlukan adanya pengampunan sekalipun tiada dosa yang dilakukan sebagaimana halnya Rasulullah Muhammad serta sekalian para nabiNya ‘alaihimus shalatu wassalam itu.”

99. Kelima: Dari Aisyah radhiallahu ‘anha juga bahawasanya ia berkata: “Rasulullah itu apabila masuk hari sepuluh, maka ia menghidup-hidupkan malamnya dan membangunkan isterinya dan bersungguh-sungguh serta mengeraskan ikat pinggangnya.” Yang dimaksudkan ialah:

Hari sepuluh ertinya sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan – jadi antara tanggal 21 Ramadhan sampai habisnya bulan itu. Mi’zar atau izar dikeraskan ikatannya maksudnya sebagai sindiran menyendiri dari kaum wanita – yakni tidak berkumpul dengan isteri-isterinya, ada pula yang memberi pengertian bahawa maksudnya itu ialah amat giat untuk beribadat. Dikatakan: Saya rnengeraskan ikat pinggangku untuk perkara ini, ertinya: Saya bersungguh-sungguh melakukannya dan menghabiskan segala Waktu untuk merampungkannya.

100. Keenam: Dari Abu Hurairah r.a. katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda:

“Orang mu’min yang kuat adalah lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mu’min yang lemah. Namun keduanya itu pun sama memperolehi kebaikan.

Berlumbalah untuk memperolehi apa saja yang memberikan kemanfaatan padamu dan mohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah merasa lemah. Jikalau engkau terkena oleh sesuatu mushibah, maka janganlah engkau berkata: “Andaikata saya mengerjakan begini, tentu akan menjadi begini dan begitu.” Tetapi berkatalah: “Ini adalah takdir Allah dan apa saja yang dikehendaki olehNya tentu Dia melaksanakannya,” sebab sesungguhnya ucapan “andaikata” itu membuka pintu godaan syaitan.” (Riwayat Muslim)

101. Ketujuh: Dan” Abu Hurairah r.a. pula bahawasanya RasuluHah s.a.w. bersabda:

“Ditutupilah neraka dengan berbagai kesyahwatan – keinginan -dan ditutupilah syurga itu dengan berbagai hal yang tidak disenangi.” (Muttafaq ‘alaih)

Dalam sebuah riwayat, dari Muslim disebutkan dengan mengjunakan kata huffat sebagai ganti kata hujibat, sedang ertinya adalah sama, iaitu bahawa antara seseorang dengan neraka (atau syurga) itu ada tabirnya, maka jikalau tabir ini dilakukannya, tentulah ia masuk ke dalamnya.

102. Kelapan: Dari Abu Abdillah, iaitu Hudzaifah bin al-Yaman al-Anshari yang terkenal sebagai penyimpan rahsia Rasullah s.a.w., radhiallahu ‘anhuma, katanya: “Saya bersembahyang beserta Nabi s.a.w. pada suatu malam maka beliau membuka – dalam rakaat pertama – dengan surat al-Baqarah. Saya berkata: “Beliau ruku’ pada ayat keseratus, kemudian berlalulah.” Saya berkata: “Beliau bersembahyang dengan bacaan tadi itu dalam satu rakaat, kemudian berlalu.”

Selanjutnya saya berkata: “Beliau ruku’ dengan bacaan di atas itu, kemudian membuka – dalam rakaat kedua – dengan surah an-Nisa’ lalu membacanya,kemudian membuka lagi -sebagai lanjutan-nya – surah ali Imran, kemudian membacanya.

Beliau s.a.w. membacanya itu dengan rapi sekali -tidak tergesa-gesa – jikalau melalui ayat yang di dalamnya mengandungi pentasbihan – memahasucikan -beliaupun mengucapkan tasbih, jikalau melalui ayat yang mengandungi suatu permohonan, beliau pun memohon, jikalau melalui ayat yang menyatakan berta’awwudz -mohon perlindungan kepada Allah dari sesuatu yang tidak baik, beliau pun berta’awwudz – mohon perlindungan.

Kemudian beliau s.a.w. ruku’ dan di situ beliau mengucapkan: Subhana rabbtal ‘azhim. Ruku’nya adalah seumpama saja dengan berdirinya – yakni perihal lamanya hampir persamaan belaka -selanjutnya beliau mengucapkan: Sami’allahu iiman hamidah. Rabbana lakal hamd,” lalu berdiri dengan berdiri yang lama mendekati ruku’nya tadi. Seterusnya beliau bersujud lalu mengucapkan: Subhana rabbial a’la, maka sujudnya itu mendekati pula akan berdirinya – tentang lama waktunya.” (Riwayat Muslim)

103. Kesembilan: Dari Ibnu Mas’ud r.a., katanya: “Saya bersembahyang beserta Rasulullah s.a.w. pada suatu malam, maka beliau memperpanjangkan berdirinya, sehingga saya bersengaja untuk melakukan sesuatu yang tidak baik.”

Ia ditanya: “Dan apakah hal yang tidak baik yang engkau sengajakan itu?”

Ibnu Mas’ud r.a. menjawab: “Saya bersengaja hendak duduk saja dan meninggalkan beliau – tidak terus berma’mum padanya.” (Muttafaq ‘alaih)

104. Kesepuluh: Dari Anas r.a. dari Rasulullah s.a.w., sabdanya:

“Mengikuti kepada seseorang mayit itu tiga hal, iaitu keluarganya, hartanya serta amalnya. Kemudian kembalilah yang dua macam dan tertinggallah yang satu. Kembalilah keluarga serta hartanya dan tertinggallah amalnya.” (Muttafaq ‘alaih)

105. Kesebelas: Dari Ibnu Mas’ud r.a. katanya: “Nabi s.a.w. bersabda: “Syurga itu lebih dekat pada seseorang di antara engkau sekalian daripada ikat terumpahnya, neraka pun demikian pula.” (Riwayat Bukhari)

Keterangan:

Maksud Hadis di atas itu ialah bahawa untuk mencapai syurga atau neraka itu mudah sekali. Jika seseorang ingin mendapatkan syurga tentulah wajib mempunyai kesengajaan yang benar, melakukan ketaatan dan kebaktian kepada Tuhan, melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua laranganNya, tetapi jika ingin memasuki neraka – semoga kita dilindungi Allah dari siksa neraka itu, tentulah dengan jalan mengikuti apa saja yang menjadi kehendak hawa nafsu, menuruti kemahuan syaitan dan melakukan apa saja yang berupa kemaksiatan dan kemungkaran.

106. Keduabelas: Dari Abu Firas iaitu Rabi’ah bin Ka’ab al-Aslami, pelayan Rasulullah s.a.w. dan ia termasuk pula dalam golongan ahlussuffah – yakni kaum fakir miskin – r.a. katanya: “Saya bermalam beserta Rasulullah s.a.w., kemudian saya mendatangkan untuknya dengan air wudhu’nya serta hajatnya – maksudnya pakaian dan lain-lain. Kemudian beliau s.a.w. bersabda: “Memintalah padaku!” Saya berkata: “Saya meminta kepada Tuan untuk menjadi kawan Tuan di dalam syurga.” Beliau s.a.w. bersabda lagi: “Apakah tidak ada yang selain itu?” Saya menjawab: “Sudah, itu sajalah.” Beliau lalu bersabda: “Kalau begitu tolonglah aku – untuk melaksanakan permintaanmu itu – dengan memaksa dirimu sendiri untuk memperbanyak bersujud – maksudnya engkaupun harus pula berusaha untuk terlaksananya permintaan tersebut dengan jalan memperbanyakkan menyembah Allah.” (Riwayat Muslim)

107. Ketigabelas: Dari Abu Abdillah, juga dikatakan dengan nama Abu Abdir Rahman iaitu Tsauban, hamba sahaya Rasulullah s.a.w. r.a., katanya: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:

“Hendaklah engkau memperbanyak bersujud, sebab sesungguhnya engkau tidaklah bersujud kepada Allah sekali sujud. melainkan dengannya itu Allah mengangkatmu sedarjat dan dengannya pula Allah menghapuskan satu kesalahan dari dirimu.” (Riwayat Muslim)

108. Keempatbelas: Dari Abu Shafwan iaitu Abdullah bin Busr al-Aslami r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda:

“Sebaik-baik manusia ialah orang yang
panjang usianya dan baik kelakuannya.”

Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahawa ini adalah Hadis hasan.

109. Kelimabelas: Dari Anas r.a., katanya:

“Bapa saudaraku, iaitu Anas bin an-Nadhr r.a. tidak mengikuti peperangan Badar, kemudian ia berkata: “Ya Rasulullah, saya tidak mengikuti pertama-tama peperangan yang Tuan lakukan untuk memerangi kaum musyrikin. Jikalau Allah mempersaksikan saya -menakdirkan saya ikut menyaksikan – dalam memerangi kaum musyrikin – pada waktu yang akan datang, niscayalah Allah akan memperlihatkan apa yang akan saya perbuat.

Ketika pada hari peperangan Uhud, kaum Muslimin menderita kekalahan, lalu Anas – bin an-Nadhr – itu berkata: “Ya Allah, saya mohon keuzuran – pengampunan – padaMu daripada apa yang dilakukan oleh mereka itu – yang dimaksudkan ialah kawan-kawannya kerana meninggalkan tempat-tempat yang sudah ditentukan oleh Nabi s.a.w. – juga saya berlepas diri – maksudnya tidak ikut campurtangan – padaMu daripada apa yang dilakukan oleh mereka – yang dimaksudkan ialah kaum musyrikin yang memerangi kaum Muslimin.

Selanjutnya ia pun majulah, lalu Sa’ad bin Mu’az menemuinya. Anas bin an-Nadhr berkata: “Hai Sa’ad bin Mu’az, marilah menuju syurga. Demi Tuhan yang menguasai Ka’bah (Baitullah), sesungguhnya saya dapat menemukan bau harum syurga itu dari tempat di dekat Uhud.”

Sa’ad berkata: “Saya sendiri tidak sanggup melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh Anas itu, ya Rasulullah.”

Anas – yang merawikan Hadis ini yakni Anas bin Malik anak saudara Anas bin an-Nadhr – berkata; “Maka kami dapat menemukan dalam tubuh Anas bin an-Nadhr itu lapan puluh buah lebih pukulan pedang ataupun tusukan tombak ataupun lemparan panah. Kita menemukannya telah terbunuh dan kaum musyrikin telah pula mencabik-cabiknya. Oleh sebab itu seorang pun tidak dapat mengenalnya lagi, melainkan saudara perempuannya saja, kerana mengenal jari-jarinya.”

Anas – perawi Hadis ini – berkata: “Kita sekalian mengira atau menyangka bahawasanya ayat ini turun untuk menghuraikan hal Anas bin an-Nadhr itu atau orang-orang yang seperti dirinya, iaitu ayat -yang ertinya:

“Di antara kaum mu’minin itu ada beberapa orang yang menempati apa yang dijanjikan olehnya kepada Allah,” sampai seterusnya ayat tersebut. (Muttafaq ‘alaih)

Lafaz Layuriannallah, diriwayatkan dengan dhammahnya ya’ dan kasrahnya ra’, ertinya: Niscayalah Allah akan memperlihatkan yang sedemikian itu – apa-apa yang dilakukannya – kepada orang banyak. Diriwayatkan pula dengan fathah keduanya – ya’ dan ra’nya -dan maknanya sudah jelas – iaitu: Nescayalah Allah akan melihat apa-apa yang dilakukan olehnya. Jadi membacanya ialah: Layara-yannallah. Wallahu aiam.

Keterangan:

Anas bin an-Nadhr r.a. mengatakan kepada Rasulullah s.a.w. bahawa dalam peperangan yang pertama yakni perang Badar tidak ikut, kemudian dalam peperangan kedua, yakni perang Uhud ikut menyertai pasukan ummat Islam melawan kaum kafirin dan musyrikin. Kemudian ia berkata di hadapan Rasulullah s.a.w. sebagai janjinya, andaikata ia mengikuti, niscaya Allah akan menampakkan apa yang hendak dilakukan olehnya atau Allah pasti mengetahui apa yang hendak diperbuatnya.

Ia mengatakan sebagaimana di atas itu setelah selesai perang Badar dan belum lagi terjadi perang Uhud. Yang hendak diperbincangkan di sini ialah mengenai kata-kata Anas tersebut berbunyi Maa ashna-‘u, ertinya: Apa-apa yang akan saya lakukan. Mengapa ia tidak berkata saja: Aku akan bertempur mati-matian sampai titik darah yang penghabisan, sebagaimana yang biasa dikatakan oleh orang-orang di zaman kita sekarang ini. Nah, inilah yang perlu kita bahas sekadarnya.

Al-lmam al-Qurthubi dalam mengupas kata-kata Anas r.a. iaitu Maa ashna-‘u itu menjelaskan demikian:

Ucapan Sayidina Anas r.a., juga sekalian para sahabat Rasulullah s.a.w. selalu mengandungi makna yang mendalam. Anas r.a. misalnya, dalam menyatakan janjinya akan mengikuti peperangan bila nanti terjadi peperangan lagi dengan hanya mengatakan: Maa ashna-‘u, itu mempunyai kandungan bermacam-macam, umpamanya:

(a) Ia tidak memiliki sifat kesombongan dan ketakaburan dan oleh sebab itu tidak mengatakan bahawa ia akan berjuang mati-matian sampai hilangnya jiwa yang dimilikinya dan amat berharga itu. Orang yang sombong itu umumnya tidak menepati janji yang diucapkan. Kadang-kadang baru melihat musuh sudah lari terbirit-birit atau sebelum melihatnya saja sudah tidak nampak hidungnya.

(b) Anas r.a. sengaja memperkukuhkan ucapannya sendiri dan benar-benar dipenuhi. Diri dan jiwanya akan betul-betul dikorbankan untuk meluhurkan kalimat Allah yakni agama Islam dengan jalan melawan musuh yang sengaja menyerbu negara dan hendak melenyapkan agama yang diyakini kebenarannya itu.

(c) Ia hendak berusaha keras memenangkan peperangan dan mencurahkan segala daya dan kekuatannya tanpa ada ketakutan sedikitpun akan tibanya ajal, sebab setiap manusia pasti mengalami kematian, hanya jalannya yang berbeza-beza.

(d) Ia takut kalau-kalau apa yang hendak dilakukan nanti itu belum memadai apa yang diucapkan, sebab mengingat bahawa segala gerakan hati dapat saja diubah-ubah oleh Allah Ta’ala. Mungkin hari ini putih,tetapi besoknya sudah menjadi hitam. Itulah yang dikhuatirkan olehnya, sehingga semangatnya yang asalnya menyala-nyala, tiba-tiba mengendur tanpa disedari.

Selanjutnya setelah terjadi perang Uhud ia menunjukkan perjuangan yang sebenar-benarnya, sampai-sampai terciumlah olehnya bau-bauan dari syurga dan akhirnya ia gugur sebagai pahlawan syahid fi-sabilillah. Untuk menegaskan janji Anas r.a. inilah Allah Ta’ala berfirman dalam al-Quran:

Ertinya:

“Di kalangan kaum mu’minin itu ada beberapa orang (seperti sahabat Anas) yang menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah dan sungguh-sungguh memenuhi janjinya itu. Diantara mereka ada yang menemui ajalnya – sebagai pahlawan syahid – dan ada juga yang masih menanti-nantikan – yakni ingin mendapatkan kematian syahid dan oleh sebab itu tidak mundur setapak pun menghadapi musuh. Itulah orang-orang mu’min yang tidak berubah pendiriannya sedikit pun.” (al-Ahzab: 23)

110. Keenambelas: Dari Abu Mas’ud iaitu ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshari al-Badri r.a., katanya: “Ketika ayat sedekah turun, maka kita semua mengangkat sesuatu di atas punggung-punggung kita -untuk memperolehi upah dari hasil mengangkatnya itu untuk disedekahkan. Kemudian datanglah seseorang lalu bersedekah dengan sesuatu yang banyak benar jumlahnya. Orang-orang sama berkata: “Orang itu adalah sengaja berpamir saja – memperlihatkan amalannya kepada sesama manusia dan tidak kerana Allah Ta’ala melakukannya. Ada pula orang lain yang datang kemudian bersedekah dengan barang sesha’ – dari kurma. Orang-orang sama berkata: “Sebenarnya Allah pastilah tidak memerlukan makanan sesha’nya orang ini.” Selanjutnya turun pulalah ayat – yang ertinya:

“Orang-orang yang mencela kaum mu’minin yang memberikan sedekah dengan sukarela dan pula mencela orang-orang yang tidak mendapatkan melainkan menurut kadar kekuatan dirinya,” dan seterusnya ayat itu – yakni firmanNya: “Lalu mereka memperolok-olokkan mereka. Allah akan memperolok-olokkan para pencela itu dan mereka yang berbuat sedemikian itu akan memperolehi siksa yang pedih.” (at-Taubah: 79) (Muttafaq ‘alaih)

Nuhamilu dengan dhammahnya nun dan menggunakan ha’ muhmalah, ertinya ialah setiap orang dari kita sekalian mengangkat di atas punggung masing-masing dengan memperolehi upah dan upah itulah yang disedekahkannya.

111. Ketujuhbelas: Dari Said bin Abdul Aziz dari Rabi’ah bin Yazid dari Abu Idris al-Khawlani dari Abu Zar, iaitu Jundub bin Junadah r.a. dari Nabi s.a.w., dalam sesuatu yang diriwayatkan dari Allah Tabaraka wa Ta’ala, bahawasanya Allah berfirman – ini adalah Hadis Qudsi:

“Hai hamba-hambaKu, sesungguhnya Aku mengharamkan pada diriku sendiri akan menganiaya dan menganiaya itu Kujadikan haram di
antara engkau sekalian. Maka dari itu, janganlah engkau sekalian saling menganiaya.

Wahai hamba-hambaKu, engkau semua itu tersesat, kecuali orang yang Kuberi petunjuk. Maka itu mohonlah petunjuk padaKu, engkau semua tentu Kuberi petunjuk itu.

Wahai hamba-hambaKu, engkau semua itu lapar, kecuali orang yang Kuberi makan. Maka mohonlah makan padaKu, engkau semua tentu Kuberi makanan itu.

Wahai hamba-hambaKu, engkau semua itu telanjang, kecuali orang yang Kuberi pakaian. Maka mohonlah pakaian padaKu, engkau semua tentu Kuberi pakaian itu.

Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya engkau semua itu berbuat kesalahan pada malam dan siang hari dan Aku inilah yang mengampunkan segala dosa. Maka mohon ampunlah padaKu, pasti engkau semua Kuampuni.

Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya engkau semua itu tidak dapat membahayakan Aku. Maka andaikata dapat, tentu engkau semua akan membahayakan Aku. Lagi pula engkau semua itu tidak dapat memberikan kemanfaatan padaKu. Maka andaikata dapat, tentu engkau semua akan memberikan kemanfaatan itu padaKu.

Wahai hamba-hambaKu, andaikata orang yang paling mula-mula – awal – hingga yang paling akhir, juga semua golongan manusia dan semua golongan jin, sama bersatu padu seperti hati seseorang yang paling taqwa dari antara engkau semua, hal itu tidak akan menambah keagungan sedikitpun pada kerajaanKu.

Wahai hamba-hambaKu, andaikata orang yang paling mula-mula – awal – hingga yang paling akhir, juga semua golongan manusia dan semua golongan jin, sama bersatu padu seperti hati seseorang yang paling curang dari antara engkau semua, hal itu tidak akan dapat mengurangi keagungan sedikitpun pada kerajaanKu.

Wahai hamba-hambaKu, andaikata orang yang paling mula-mula – awal – hingga yang paling akhir, juga semua golongan manusia dan semua golongan jin, sama berdiri di suatu tempat yang tinggi di atas bumi, lalu tiap seseorang meminta sesuatu padaKu dan tiap-tiap satu Kuberi menurut permintaannya masing-masing, hal itu tidak akan mengurangi apa yang menjadi milikKu, melainkan hanya seperti jarum bila dimasukkan ke dalam laut – jadi berkurangnya hanyalah seperti air yang melekat pada jarum tadi.

Wahai hamba-hambaKu, hanyasanya semua itu adalah amalan-amalanmu sendiri. Aku menghitungnya bagimu lalu Aku memberikan balasannya. Maka barangsiapa mendapatkan kebaikan, hendaklah ia memuji kepada Allah dan barangsiapa yang mendapatkan selain itu, hendaklah jangan menyesali kecuali pada dirinya sendiri.”

Said berkata: “Abu Idris itu apabila menceriterakan Hadis ini, ia duduk di atas kedua lututnya.” (Riwayat Muslim)

Kami juga meriwayatkannya dari Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dan ia berkata: “Tidak sebuah pun Hadis bagi ahli Syam yang lebih mulia dari Hadis ini.”

Keterangan:

Hadis yang diriwayatkan oleh Nabi s.a.w. dan berasal dari Allah semacam Hadis di atas ini juga Hadis no. 11 dan no. 95 disebut Hadis Qudsi (suci). Bezanya dengan al-Quran ialah kalau al-Quran merupakan mu’jizat sedang Hadis Qudsi tidak. Lagi pula hanya melulu membaca saja pada al-Quran itu sudah merupakan ibadat. Yang penting kita perhatikan ialah:

(a) Menganiaya itu adalah benar-benar besar dosanya dan doanya orang yang dianiaya itu tidak akan ditolak oleh Allah yakni pasti dikabulkan sebagaimana sabda Nabi s.a.w.:

“Takutlah pada doanya orang yang dianiaya, sekalipun ia itu kafir kerana sesungguhnya saja tidak ada tabir yang menutup antara doa orang itu dengan Allah.”

(b) Semua dosa itu dapat diampuni oleh Allah asal kita mohon ampun serta bertaubat kecuali syirik (menyekutukan Allah), sebagaimana dalam al-Quran disebutkan:

“Sesungguhnya Allah tidak suka mengampuni kalau Dia disekutukan dengan lainNya dan Dia suka mengampuni yang selain itu pada orang yang dikehendaki olehNya.”

(c) Kalau kita taat pada Allah, melakukan semua perintahNya, ini bukan bererti bahawa Allah memerlukan kita taati. Kita taat atau tidak bagi Allah tetap saja. Maka bukannya kalau kita taat, Allah tambah mulia atau kalau kita ingkar lalu Allah kurang kemuliaanNya. Itu tidak sama sekali. Hanya saja Allah menyediakan tempat kesenangan (syurga) bagi orang yang taat dan tempat siksa (neraka) bagi orang yang ingkar.

(d) Orang yang amat taqwa yang dimaksudkan dalam Hadis ini ialah Nabi Muhammad s.a.w. dan yang paling curang itu ialah syaitan (setan) sebab syaitan itu dahulunya bernama Azazil dan termasuk dalam golongan jin.

(e) Begitu banyaknya air laut, kalau isinya hanya dikurangi oleh jarum yang melekat di situ, maka kekurangan itu tidak bererti sama sekali. Begitulah perumpamaannya andaikata Allah mengabulkan semua permohonan makhlukNya.

Sungguh-sungguh

Bersegera Kepada Kebaikan Dan Menganjurkan Kepada Orang Yang Menuju Kebaikan Supaya Menghadapinya Dengan Sungguh-sungguh Tanpa Keragu-raguan

Allah Ta’ala berfirman:

“Maka berlumba-lumbalah engkau sekalian untuk mengerjakan berbagai kebaikan.” (al-Baqarah: 148)

Allah Ta’ala berfirman pula:

“Dan bersegeralah engkau sekalian menuju pada pengampunan dari Tuhanmu dan juga memasuki syurga yang luasnya adalah seperti langit dan bumi, disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” (ali-lmran: 133)

Adapun Hadis-hadisnya ialah:

87. Pertama: Dari Abu Hurairah r.a. bahawasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:

“Bersegeralah engkau sekalian untuk melakukan amalan-amalan – yang bagus-bagus – sebelum datangnya bermacam-macam fitnah yang diumpamakan sebagai potongan-potongan dari malam yang gelap gulita.” [10]

Berpagi-pagi seseorang itu menjadi orang mu’min dan berpetang-petang menjadi orang kafir, ada lagi yang berpetang-petang masih sebagai seorang mu’min, tetapi berpagi-pagi telah menjadi seorang kafir. Orang itu menjual agamanya dengan harta dari keduniaan.” (Riwayat Muslim)

88. Kedua: Dari Abu Sirwa’ah (dengan kasrahnya sin yang muhmalah dan boleh pula dengan difathahkannya), iaitu ‘Uqbah bin al-Harits r.a., katanya: “Saya bersembahyang di belakang Nabi s.a.w. di Madinah yakni shalat ‘ashar. Kemudian setelah bersalam lalu berdiri bergegas-gegas, terus melangkahi leher orang-orang banyak untuk menuju ke salah satu bilik isterinya. Orang-orang banyak yang takut kerana melihat bergegas-gegasnya beliau itu. Selanjutnya Nabi s.a.w. keluar lagi menemui sahabat-sahabatnya itu lalu mengetahui bahawa mereka itu benar-benar terhairan-hairan kerana bergegas-gegasnya tadi. Beliau s.a.w. lalu bersabda:

“Saya ingat pada sepotong emas yang ada di tempatku, maka saya tidak senang kalau benda itu mengganggu fikiranku – untuk menghadap Allah Ta’ala. Oleh sebab itu saya menyuruh supaya benda tadi dibahagi-bahagikan.” (Riwayat Bukhari)

Dan disebutkan dalam riwayat Imam Bukhari yang lain demikian: “Saya meninggalkan di rumah sepotong emas dari hasil sedekah, maka saya tidak senang kalau sampai menginapkannya.”

At-tibru, ertinya ialah potongan-potongan emas atau perak.

89. Ketiga: Dari Jabir r.a., katanya: Ada seorang lelaki berkata kepada Nabi s.a.w. pada hari perang Uhud: “Bagaimanakah pendapat Tuan jikalau saya terbunuh, di manakah tempatku?” Nabi s.a.w. bersabda:

“Dalam syurga.”

Orang tersebut lalu melemparkan beberapa buah kurma yang masih di tangannya kemudian berperang sehingga ia dibunuh – mati syahid.” (Muttafaq ‘alaih)

90. Keempat: Dari Abu Hurairah r.a., katanya: “Ada seorang lelaki datang kepada Nabi s.a.w. lalu berkata: “Ya Rasulullah, sedekah manakah yang teragung pahalanya?” Beliau s.a.w. bersabda:

“Iaitu jikalau engkau bersedekah, sedangkan engkau itu masih sihat dan sebenarnya engkau kikir – merasa sayang mengeluarkan sedekah itu, kerana takut menjadi fakir dan engkau amat mengharap-harapkan untuk menjadi kaya. Tetapi janganlah engkau menunda-nunda sehingga apabila nyawamu telah sampai di kerongkong lalu berkata: “Untuk si Fulan itu, yang ini dan untuk si Fulan ini, yang itu, sedangkan orang yang engkau maksudkan itu telah memiliki apa yang hendak kau berikan.” (Muttafaq ‘alaih)

Hulqum adalah jalan pernafasan sedang mari’ adalah jalan makan dan minuman.

91. Kelima: Dari Anas r.a. bahawasanya Rasulullah s.a.w. mengambil pedangnya pada hari perang Uhud, kemudian bersabda: “Siapakah yang suka mengambil pedang ini daripadaku?” Orang-orang sama mengacungkan tangannya masing-masing, yakni setiap orang dari sahabat-sahabat itu berbuat demikian sambil berkata: “Saya, saya.” Beliau berkata lagi: “Siapakah yang dapat mengambilnya dengan menunaikan haknya?” Orang-orang semuanya berdiam diri. Selanjutnya Abu Dujanah – namanya sendiri Simak bin Kharsah – berkata: “Saya dapat mengambil pedang itu dengan menunaikan haknya.” Pedang itu lalu digunakan oleh Abu Dujanah untuk memenggal kepala-kepala kaum musyrikin.” (Riwayat Muslim)

92. Keenam: Dari Zubair bin ‘adiy, katanya: “Kita semua mendatangi Anas bin Malik r.a., kemudian kita mengadukan padanya perihal apa yang kita temui dari perlakuan Hajjaj – seorang panglima dari dinasti Bani Umayyah dan ia adalah seorang zalim, lalu Anas berkata: “Bersabarlah engkau sekalian, sebab sesungguhnya saja tidaklah datang sesuatu zaman melainkan apa yang sesudahnya itu tentu lebih buruk daripada zaman itu sendiri, demikian itu sehingga engkau sekalian menemui Tuhanmu. Ucapan semacam ini pernah saya dengar dari Nabimu sekalian s.a.w. (Riwayat Bukhari)

93. Ketujuh: Dari Abu Hurairah r.a. bahawasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:

“Bersegeralah engkau sekalian melakukan amalan-amalan -yang baik – sebelum datangnya tujuh macam perkara. Apakah engkau sekalian menantikan – enggan melakukan dulu, melainkan setelah tibanya kefakiran yang melalaikan, atau tibanya kekayaan yang menyebabkan kecurangan, atau tibanya kesakitan yang merosakkan, atau tibanya usia tua yang menyebabkan ucapan-ucapan yang tidak keharuan lagi, atau tibanya kematian yang mempercepatkan – lenyapnya segala hal, atau tibanya Dajjal, maka ia adalah seburuk-buruk makhluk ghaib yang ditunggu, atau tibanya hari kiamat, maka hari kiamat itu adalah lebih besar bencananya serta lebih pahit penanggunggannya.”

Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahawa ini adalah Hadis hasan.

94. Kelapan: Dari Abu Hurairah r.a. pula bahawasanya Rasulullah s.a.w. bersabda pada hari perang Khaibar:

“Nescayalah bendera ini akan kuberikan kepada seseorang lelaki yang mencintai Allah dan RasulNya, Allah akan membebaskan – beberapa benteng musuh – atas kedua tangannya.”

Umar r.a. berkata: “Saya tidak menginginkan keimarahan -kepemimpinan di medan perang – melainkan pada hari itu belaka kemudian saya bersikap untuk menonjolkan diri pada Nabi s.a.w. dengan harapan agar saya dipanggil untuk memegang bendera itu.

Tiba-tiba Rasulullah s.a.w. memanggil Ali bin Abu Thalib r.a., lalu memberikan bendera tadi padanya dan beliau s.a.w. bersabda:

“Berjalanlah dan jangan menoleh-noleh lagi sehingga Allah akan membebaskan – benteng-benteng musuh – atasmu.”

Ali berjalan beberapa langkah kemudian berhenti dan tidak menoleh, kemudian berteriak:

“Ya Rasulullah, atas dasar apakah saya akan memerangi para manusia?” Rasulullah s.a.w. menjawab:

“Perangilah mereka sehingga mereka suka menyaksikan bahawa tiada Tuhan melainkan Allah dan bahawasanya Muhammad adalah pesuruh Allah. Apabila orang itu telah berbuat demikian, maka tercegahlah mereka itu daripadamu, baik darah dan harta mereka, melainkan dengan haknya, sedang hisab mereka itu adalah tergantung pada Allah.” (Riwayat Muslim)

Fatasaawartu, dengan sin muhmalah (yakni sin tak bertitik dan bukan syin yang bertitik tiga di atas), ertinya: “Saya melompat ke muka untuk menampakkan diri.”

Keterangan:

Maksud dari Hadis di atas itu ialah bahawa yang diperintahkan oleh Rasulullah s.a.w. kepada Sayidina Ali r.a. dan seluruh pasukannya ialah memerangi manusia-manusia musyrik yakni yang menyembah selain Allah atau yang tidak mempercayai adanya Allah serta keesaanNya dan tidak pula mempercayai tentang diutusnya Nabi Muhammad s.a.w. Tetapi apabila mereka suka mengikuti seruan agama Islam yang benar, sama sekali tidak boleh diganggu, baik keselamatan jiwa atau pun harta mereka.

Namun demikian, manakala hak atau ketentuan agama Islam menghendaki, boleh saja seseorang itu dibunuh, seperti orang yang sengaja membunuh orang lain. Jadi sekalipun sudah masuk Islam wajib pula dibunuh sebagai qishash atau balasan pembunuhannya. Demikian pula seperti dipotong tangan kerana mencuri yang sudah mencapai batas untuk bolehnya dipotong atau pun diberi hukuman pukul (didera) se
rta direjam, menurut ketentuannya sendiri-sendiri, jika melakukan perzinaan dan lain-lain lagi. Inilah yang dimaksudkan dengan sabda Nabi s.a.w.

“Kecuali dengan haknya.”

Mengenai hisab atau perhitungan amal perbuatan mereka adalah menjadi urusan Allah Ta’ala sendiri.

Perlu dimaklumi bahawa golongan Ahlulkitab yakni kaum yang beragama Nasrani atau Yahudi, tidak boleh secara langsung diperangi. Mereka diperbolehkan memilih salah satu di antara dua hal yakni membayar pajak. Ini adalah pilihan yang pertama. Jika mereka suka melaksanakan itu, mereka pun wajib dilindungi keselamatan diri dan hartanya. Tetapi jikalau enggan, maka pilihan kedua boleh dilaksanakan, iaitu boleh diperangi.

Bersikap Istiqamah

Memikir-mikirkan Keagungan Makhluk-makhluk Allah Ta’ala Dan Rosaknya Dunia Dan Kesukaran-kesukaran Di Akhirat Dan Perkara Yang Lain-lain Di Dunia Dan Akhirat Serta Keteledoran Jiwa, Juga Mendidiknya Dan Mengajaknya Untuk Bersikap Istiqamah

Allah Ta’ala berfirman:

“Katakanlah: Hanyasanya aku hendak menasihati kepadamu sekalian perkara satu saja, iaitu supaya engkau sekalian berdiri di hadapan Allah berdua-duaan atau sendiri-sendiri, kemudian engkau sekalian memikirkan bahawa bukanlah kawanmu itu terkena penyakit gila. Tidaklah kawanmu itu melainkan seorang yang memberikan peringatan kepadamu sekalian sebelum datangnya seksa yang amat sangat.” (Saba’: 46)

Allah Ta’ala berfirman pula:

“Sesungguhnya dalam kejadian langit dan bumi serta bersilih, gantinya malam dengan siang itu adalah tanda-tanda – kekuasaan Allah – bagi orang-orang yang suka berfikir.

“Mereka itu ialah orang-orang yang selalu berzikir kepada Allah ketika berdiri, duduk ataupun berbaring sambil memikirkan kejadian langit dan bumi. Mereka berkata: “Wahai Tuhan kami, sesungguhnya tidaklah Engkau menjadikan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka lindungilah kami dari siksa api neraka.” Sampai ayat-ayat seterusnya. (ali-lmran: 190-191)

Allah Ta’ala berfirman lagi:

“Apakah mereka tidak melihat – memerhatikan – pada unta, bagaimana ia diciptakan?

“Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?

“Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan?

“Dan juga bumi, bagaimana ia dikembangkan?

“Maka dari itu berikanlah peringatan, kerana engkau itu hanyalah seorang yang bertugas memberi peringatan.” (al-Ghasyiyah: 17-21)

Allah Ta’ala juga berfirman:

“Apakah mereka tidak hendak berjalan di muka bumi, lalu melihat – memerhatikan – bagaimana akibat orang-orang yang belum mereka? Allah telah membinasakan mereka itu dan keadaan yang seperti itu pula untuk orang-orang kafir?” (Muhammad: 10)

Ayat-ayat mengenai bab ini amat banyak sekali. Setengah dari Hadis-hadis yang berhubungan dengan bab ini ialah Hadis di muka, iaitu:

“Orang yang cerdik – berakal – ialah orang yang memperhitungkan keadaan dirinya.” Dan seterusnya.

Adapun lengkapnya Hadis di atas ialah:

Dari Abu Ya’la iaitu Syaddad bin Aus r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya:

“Orang yang cerdik – berakal – ialah orang yang memperhitungkan keadaan dirinya dan suka beramal untuk mencari bekal sesudah matinya, sedangkan orang yang lemah ialah orang yang dirinya selalu mengikuti hawa nafsunya dan mengharap-harapkan kemurahan atas Allah – yakni mengharap-harapkan kebahagiaan dan pengampunan di akhirat, tanpa beramal shalih.”

Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahawa ini adalah Hadis hasan.